Part 33

285 26 4
                                    

Part 33

Harry's POV

Tadi itu hampir saja. Raut serius Callysta benar-benar membuatku jantungan. Aku kira ia akan memaksaku mengatakan alasannya. Di sisi lain aku masih kaget bisa bertemu dengannya disini. Dan mengapa pula dia dapat menemukanku?

Namun aku tidak mengelak ada rasa senang dapat bertemu dengannya walau dalam waktu yang tidak diduga. Kukira Callysta akan membenciku setelah kejadian yang diperbuat Nadine. Tapi nyatanya, 'satu lagi, aku senang kau kembali dan dapat mengobrol bersamaku.' Callysta mengatakan itu dan berhasil membuatku tersenyum. Tidak, tanpa kusadari dia selalu melakukannya secara tak langsung.

Bagaimana dengan obrolan kami? Kali pertama aku bercakap dengan gadis itu tanpa ada tujuan dibaliknya. Kami mengobrol layaknya teman akrab pada jam istirahat sekolah, menikmati setiap topik tanpa harus mengutarakan maksud tertentu.

Aku ingin tetap seperti ini.

Janji yang kubuat mungkin dapat membuat kita melakukannya lagi. Tapi aku perlu alasan itu, 'darimana kau tahu jika tulang kakiku bergeser?' Aku harus menyiapkan alasan atas kecerobohanku sendiri. Aku harus berbohong bila kau menginginkan alasan yang tidak nyata, Call. Namun kau harus tahu bila berbohong padamu tidaklah mudah. Aku tidak bisa berpura-pura lagi.

Ya, aku bisa melakukan tipuan ajaib kepada seluruh dunia. Sangat manis hingga dunia mempercayaiku. Tapi aku terlalu banyak pura-pura pada Callysta. Sudah berapa? Aku tidak tahu. Menjadi Javier, menjadi Marcel, tentang kakimu, tentang masa lalumu. Dan ia harus tahu satu kebohongan terbesarku, aku sadari, aku menyayanginya. Sangat sayang padanya.

"Apa aku akhiri saja semua ini?"

Author's POV

Sore hari rumah Callysta kedatangan para tamu yang sudah ia wanti-wanti. Sesuai yang dikatakan Zayn, dua gadis dan satu pria temannya datang menjenguk. Kejutan bertambah ketika mendapati tak hanya Liam yang diundang, "Niall dan Louis??" Sontak Callysta berteriak cukup kencang. Si blonde itu tersenyum tulus, juga Louis di sampingnya.

"Kau tidak keberatan, bukan? Menghilangnya Harry sebagai murid di kelas membuat kita sedih. Dan kami tidak mau kau melakukan hal yang sama, Call."

"Pandai sekali alasanmu, Niall."

"Aku bersungguh-sungguh."

Semuanya berkumpul di ruang tengah rumah keluarga Callysta yang terbilang sangat luas. Beberapa kue dan air minum sudah disediakan dengan rapi. Satu sofa itu cukup diisi oleh Callysta, Mya, dan Lucy. Dua sofa lainnya ditempati masing-masing oleh Zayn dan Liam, juga Niall dan Louis.

Seperti biasa, Louis memulai kekonyolannya pertama, berhasil membuat lainnya tertawa. "Tampak luar rumahmu sama sekali tidak berubah ya, Call." Ucap Niall disela-sela mengunyah. Awalnya semua orang biasa saja, tapi kemudian secara bersamaan mata mereka tertuju pada Niall. Louis menyikut pria itu. "Apa yang kau katakan?" Bisik Louis semampunya agar tidak terdengar. "Maksudku, luar rumahmu sama seperti di dalamnya, sangat bagus."

"Oh, kukira kau pernah ke rumahku, Niall."

"Tentu saja tidak, ini pertama kalinya. Iya kan Lou?"

Louis mengangguk cepat. Hampir terbongkar jika dulu suruhan Niall pernah membuntuti Callysta ke rumahnya lalu memfoto itu. Dasar si blonde.

"Call, dimana sepupumu?" Tanya Lucy memupuk rasa penasarannya. "Maksudmu Lucas? Ah, dia sedang pergi." Gadis itu langsung menunduk kecewa. Lucu sekali melihat si polos nan kutu buku seperti Lucy menyukai seseorang. "Sayang sekali, ya?" Mya menggoda tersenyum miring.

"Apa kakimu masih terasa sakit, Call?" Lihat satu-satunya orang yang menanyakan keadaan Callysta cuma Liam. Tidak ngawur menyatakan rumahmu bagus atau bertanya dimana sepupumu. "Ini lebih parah, Li. Sakit pada waktu tertentu hingga aku tidak bisa memprediksinya." Aku Callysta. "Aku tidak dapat membayangkannya, tapi kuharap kau lekas sembuh." Callysta mengamini ucapan Liam dengan anggukan dan senyuman. Tiba-tiba terbersit sesuatu dalam pikiran gadis itu.

"Oh ya, apa Marcel masuk sekolah? Dia tidak ikut menjengukku?"

"Dia tidak ke sekolah hari ini tanpa kabar, Call. Mungkin besok dia masuk."

"Tanpa kabar?" Callysta mulai berperasaan tidak enak. Pasti Marcel terkejut ketika dia tak menemukan Callysta di mobil malam itu. Apa Marcel mencari Callysta? Jika iya, kira-kira sebab apa ia tidak ke sekolah?

*

Bunyi telpon di atas meja membuat Harry berhenti berkemas. Ia tengah membereskan beberapa benda yang ia miliki untuk segera meninggalkan rumah sakit. Siapa sangka jika dokter mengizinkan pria itu pulang sekarang. Padahal luka tusuk Harry belum sembuh benar. Tentu saja karena si Styles itu yang memaksa.

Tertera nama 'Nadine' pada layar ponselnya. Dengan desahan panjang Harry menjawab, "Ya Nadine?"

"Harry, kau dimana? Mengapa kau belum juga mengabariku??"

Harry terkekeh, "Maafkan aku, Nad, aku sedang sibuk."

"Kau tidak akan pergi lagi, 'kan? Apa kau mulai sekolah besok?"

"Entahlah, aku belum memiliki rencana apa-apa untuk besok." Harry berjalan mendekati jendela rumah sakit yang biasa ia pandang. Hari menjelang malam dengan beberapa bintang bermunculan di atas sana.

"Harry, ayolah, kita baru saja jadian. Apa kau tidak ingin bersamaku?" Rengek Nadine di seberang sana. Dalam diam pria itu hanya tersenyum. Satu bintang bersinar cukup terang, membuat Harry tenggelam menatapnya.

"Baiklah. Bagaimana jika malam ini, kau bisa?"

"Ya, tentu saja!"

"Oke, satu jam lagi temui aku di jembatan danau Quiensha."

"Baik, aku akan tiba tepat waktu."

Sambungan terputus. Harry memasukkan ponselnya ke dalam saku. Mata emerald itu masih terpaku pada sekumpulan benda langit yang berbentuk bintik kecil. Entah mengapa, ia tidak pernah melihat langit seindah ini.

Puas akan lamunannya, Harry kembali berkemas. Selesai, ia mengambil jaket dan pergi menuju tempat yang ia janjikan.
.
.
Pria itu sampai di jembatan kayu, di atas sebuah danau yang tenang, dengan pantulan langit pada permukaannya. Angin malam ini cukup dingin, namun juga nyaman.

"Harry!" Sang empunya nama merasakan tubuhnya dibalut oleh sesuatu yang lebih hangat. "Cepat juga kau sampai." Ucapnya tersenyum pada wanita itu.

"Tentu saja." Nadine berdiri di samping Harry. Ia melihat pantulan dirinya pada danau itu. "Kenapa kau mengajakku kesini?" Tanyanya menoleh pada Harry.

"Kau tidak suka? Maafkan aku jika benar begitu, tapi, di sini aku dapat melihat langit dengan jelas."

"Hmm, aku hanya terkejut. Kukira kau akan menemuiku di klab biasa."

Harry menoleh pada wanita itu. Dia tetaplah Nadine yang sama. Dan Harry yakin ini memang saatnya.

Pria itu bergerak mundur, menghadap Nadine, kini keduanya bertatapan. "Nadine, aku tahu jika kau sangat mencintaiku. Tapi, kurasa kita tidak dalam hubungan yang baik." Ucapan Harry membuat wajah Nadine berubah, ia tidak mengerti.

"A-apa maksudmu?"

"Aku sadar bahwa hubungan kita tidak akan berhasil, Nad."

Nadine semakin bingung. Ia mendadak tak dapat mencerna apa yang dikatakan oleh pria itu. "Aku tidak mengerti, Harry, apa--"

"Kau dan aku tidak bisa menjalani hubungan ini. Anggap saja aku adalah laki-laki yang jahat, sehingga kau tidak cocok denganku."

"Tidak, tidak, aku tidak mau itu! Mengapa kau mengatakannya, Harry??" Nadine sudah setengah teriak dan matanya mulai berkaca-kaca. Harry menunduk di titik itu. Ia memejamkan mata dan dengan satu tarikan nafas, Harry menatap Nadine.

"Karena aku mencintai gadis lain."

**

Yuhuu~~ semakin mendekati akhir hahah excited bangettt buat bikin endingnya, vomment vomment plss

Heart by Heart ⇨ h.sOù les histoires vivent. Découvrez maintenant