Kind of Deleted Part

42.1K 3.7K 662
                                    

idk what is dis. yang pasti part ini gak akan saya tampilkan di versi cetak NTdTK. Tapi bakal ada di Taklik dengan perubahan POV.

Buat yang belum tuntas baca NTdTK, jangan baca Taklik. Alasannya bisa dibaca di bagian 'prakata' Taklik. Instead of reading Taklik, mending baca Black Spectrum aja ya. Terima kasih.

-;-;-;-;-




Dalam diam, aku mengawasinya dengan hati-hati.

Akad nikah akan dilaksanakan setengah jam lagi, namun wanita di depanku ini meminta agar aku datang ke kamarnya tempat ia menunggu calon suaminya. Lima menit telah berlalu dari terakhir kita berbasa-basi. Ruang kamar tempat kami berdiam sekarang sudah disulap hingga menawan dengan warna putih dan perak sebagai warna dominan.

Kini, aku hanya melihat-lihat foto yang terpajang di dinding sebelah meja rias. Menunggunya membuka mulut. Atau mungkin, hanya menemaninya berada di sini sampai aku diharuskan turun ke lantai bawah untuk menghadiri akad nikah yang akan berlangsung.

"Virga," ia memanggilku, lembut. Aku menoleh, menemukannya duduk bersandar di kepala ranjang, menatapku lekat. "Kemarilah."

Kuikuti perintahnya. Duduk di tepi ranjang yang bersebelahan dari dirinya.

"Gimana kabarmu sekarang, Vir?"

Aku mengulum senyum. Tumben sekali ia berbasa-basi. Pasti ini karena ia sedang gugup. "Alhamdulillah baik, Tan." Kembali kurekahkan senyum lebar. "Tante sendiri, gimana?"

Wanita itu terkekeh ringan. Geleng-geleng kepala. Matanya memandangi kedua tangannya yang saling mengelus satu sama lain. Seperti berusaha mencipta kehangatan.

Lembut, aku menutupi tangannya dengan kedua tanganku. Merasakan permukaan kulitnya.

Dingin.

Kedua tangannya dingin. Mungkin karena itulah ia mengusap-usap tangannya dengan gerakan konstan. "Tante gugup, ya?"

Ia tertawa kecil. Menatapku lembut. "Kalau kamu di posisi Tante, pasti kamu juga akan merasa seperti ini."

Tak kuasa otakku menyelinapkan pertanyaan. "Tepatnya hal apa yang membuat Tante Varsha gugup?"

Senyuman di bibirnya meluntur. Berganti wajah serius. Ia memandangiku, lama, seperti menimang apa yang harus ia utarakan.

"Sebenarnya Tante bingung, Vir," mulainya dengan lirih. "Apakah Tante harus merasa berdosa dengan pikiran Tante sekarang?"

Aku tak membalas ucapannya ataupun bertanya apa yang ia maksud. Hanya perlu menunggu waktu sampai ia menjelaskan pikirannya itu padaku. Karena aku adalah keponakannya yang tertua, dianggap yang paling mengerti, dan kami sama-sama perempuan, ia memilihku untuk menceritakan keluh kesahnya. Aku pun juga sama sekali tak keberatan. Karena Eyang Hartanti sudah tiada dan terkadang Tante Kimala sibuk, menghasilkan Tante Varsha yang merasa tidak enak untuk bercerita beban pikirannya.

"Tante nggak bisa nggak berpikir hal ini. Diyakinkan lewat cara apa pun, tetap aja pikiran itu terus muncul. Mungkin ini karena Tante belum bisa melupakan apa yang udah ayah Tante perbuat pada ibu Tante. Mungkin juga itu karena... Tante tahu terlalu banyak, dan beberapa hal yang Tante tahu itu terus terpaku di otak Tante. Nggak bisa dikeluarkan.

"Penghkianatan selalu ada di tengah kepercayaan. Itu yang Tante pelajari dari dulu. Bahkan sampai sekarang hal itu masih belum bisa luntur dari otak Tante. Sukar sekali, Vir. Padahal tinggal hitung menit maka Tante resmi menikah, sebuah prosesi suci yang jelas-jelas membutuhkan komitmen dan kepercayaan. Bagaimana caranya kita bisa percaya, kalau kewaspadaan kita terus mengatakan bahwa orang yang paling dipercaya pasti akan berkhianat?"

Nona Teh dan Tuan Kopi [TERSEDIA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now