3 | Manifestasi Kebohongan

83K 5.4K 483
                                    

3 | M a n i f e s t a s i    K e b o h o n g a n



Wirga dan Prahara adalah dua kakak lelakinya yang tak patut dicontoh siapa pun.

Varsha tahu, mungkin pikirannya ini terkesan menjelek-jelekkan. Hanya saja, seringkali kebenaran memang tidak berbalut gula atau dilapis berlian. Kebenaran itu pahit dan buruk rupa, mungkin karena itulah orang-orang lebih suka diberi kebohongan—karena kebohongan itu manis, rupawan, dan sering menerbangkan kita ke langit.

Sebelum akhirnya, dijatuhkan ke dasar jurang tanpa ampun.

Kadang, Varsha ingin tertawa. Betapa orang-orang luar—tetangga dan teman-teman dari keluarganya—selalu mengira keluarganya aman, tentram, dan baik-baik saja di saat yang ia rasakan justru sebaliknya.

Sudah lama ia mengetahui bahwa kakaknya yang pertama, Wirga, pernah ketahuan selingkuh. Istrinya, Erika, telah meminta cerai dari dulu, namun selalu ditahan Hartanti. Alasannya sederhana dan mampu membungkam mulut: anak.

Saat Wirga pertama ketahuan selingkuh, Erga, anak mereka, masih tujuh tahun. Kakak perempuan Erga—yang juga merupakan keponakan Varsha yang tertua—pun masih dalam masa puber, masih sangat mudah terpengaruh. Erika terpaksa membatalkan gugatannya karena penjelasan Hartanti masuk akal.

Sebelum akhirnya, Wirga ketahuan selingkuh—lagi.

Varsha menggertakkan gigi. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan sofa dengan tidak sabaran. Jika tak ada Hartanti di ruang keluarga ini, sungguh, Varsha tak segan untuk meninju wajah kakak tertuanya yang kini duduk di tengah ruangan.

"Ini sudah kedua kalinya, Wirga." Di sofa tengah, duduk tegap sambil menatap Wirga dengan mata dinginnya, adalah sang ayah, Cipto. Sekarang Varsha bingung. Dari dulu ia sudah menutup-nutupi kelakuan Cipto dengan tujuan agar tak ada saudaranya yang ikut-ikutan selingkuh. Namun, apakah seharusnya dari dulu ia memberi tahu tentang kebejatan ayah mereka? Agar mereka tak ikut-ikutan?

Sebuah pikiran menyelinap lagi. Bukankah yang namanya perselingkuhan dan kejahatan macam apa pun, semuanya akan kembali kepada orangnya masing-masing?

Varsha menghela napas lelah sambil memijit-mijit pelipis. Sekarang, apa yang harus ia lakukan agar anak-anak Wirga bisa tabah menghadapi ini? Dengan emosi anak remaja yang seringkali tidak stabil, bagaimana?

Diskusi keluarga berjalan hampir satu arah. Hanya dari pihak Cipto yang bicara memperingati Wirga. Di tengah itu, Varsha hampir kelepasan mendengus. Lucu saja melihat ayahnya yang pernah selingkuh menasihati anaknya yang selingkuh juga. Rasanya keinginan Varsha untuk tertawa makin menjadi.

"Erika itu kurang apa, Wirga?" akhirnya Varsha bersuara, menahan nada sinis. "Dia itu pintar, pandai masak, pandai ngurus rumah dan anak, nggak pernah macem-macem, cantik juga wajahnya. Dia kurang apa, Wir? Perlu kepalamu itu kutempeleng biar sadar?"

"Varsha," suara Cipto memperingati. Varsha menatap ayahnya dengan tatapan menyipit beberapa detik, kemudian ia membuang muka. Enggan berdebat dengan sang ayah di saat seperti ini.

Di sebelah Varsha, Kimala, adiknya, mengenggam tangannya erat dan memberi tatapan khawatir. Tatapan itu juga dilempar ibunya yang duduk di sebelah Cipto. Prahara—kakaknya yang kedua—hanya menatapnya sekilas.

Perbincangan berlangsung alot. Varsha langsung pergi meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya yang jauh dari ruangan itu, tanpa peduli jika masih ada yang hendak ayahnya bicarakan. Ia tahu para keponakannya sedang ditempatkan di kamarnya, dilarang keluar sebelum ada orang dewasa yang memberi izin karena sedang ada 'pembicaraan serius' di ruang tamu yang tak boleh diikuti mereka.

Nona Teh dan Tuan Kopi [TERSEDIA DI TOKO BUKU]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz