Prolog

5.8K 135 11
                                    

Prolog

Hari itu adalah Minggu yang luar biasa mengesankan. Kylie yang berusia sebelas tahun pergi piknik ke pantai bersama kedua orang tuanya. Kylie memakai kaos putih lengan pendek bergambar hello kitty yang dipadukan dengan celana denim selutut, hadiah dari Mamanya saat ia mendapat peringkat pertama di ujian semester.

Kylie menggandeng lengan Mamanya, berjalan menuju meja piknik. Mama lalu membuka keranjang yang berisi makanan, mengeluarkan isinya.

Papanya sedang berdiri di samping Mama, menuang jus jeruk ke dalam tiga gelas plastik.

"Ma," panggil Papa.

Mama berbalik ke arah Papa, dan saat mereka bertemu pandang, Mama tersenyum.

"Ini untukmu, Ma. Minumlah!"

"Terima kasih. Bisa tolong ambilkan kamera dari dalam mobil, Pa? Nanti bisa kita pakai untuk berfoto bersama."

Papa menatap ke arah mobil yang ada di seberang jalan. "Baiklah," ujarnya pada Mama, "tunggu sebentar."

Papa berjalan menuju mobil, mengambil kamera yang diinginkan Mama. Setelah mendapatkan kamera itu, Papa menutup kembali pintu mobil. Sesekali beliau memotret Kylie dan Mama sambil berjalan menghampiri mereka.

Tiba-tiba Kylie melihat sebuah mobil yang melaju dengan cepat dan ugal-ugalan saat Papanya berada di tengah jalan, ia berteriak. "Papa!"

Tapi bukannya membuat sang Papa melihat ke arah bahaya yang menghampiri, teriakan Kylie justru membuat Papanya melihat ke arahnya dan tersenyum.

"Awas!" teriak Kylie, dan menunjuk ke arah mobil tersebut.

Papa berbalik untuk melihat, tepat saat mobil itu menabrak tubuhnya hingga terpental beberapa meter.

Kylie langsung memejamkan mata, dan pada saat ia membuka matanya lagi, Papa sudah tergeletak tak berdaya dengan darah di sekujur tubuhnya.

Kylie berlari menyusul Mama yang menghampiri Papa. "Tolong panggil ambulans!" teriak Mama.

"Papa harus kuat, jangan tinggalin Mama, Pa."

"Ini sudah takdir, Ma." dengan lemah Papa menyentuh pipi Mama.

"Pa," panggil Kylie, "jangan tinggalin Kylie, Pa."

"Kylie, Papa tidak punya pilihan. Papa akan selalu bersamamu, mengawasimu dari atas sana, Kylie."

"Tidak, Papa! Tidak." Mama berteriak histeris.

Mata Papa perlahan terpejam, tangan yang tadi memegang pipi Mama mendarat lunglai di atas aspal.

Papa sudah pergi dan Kylie memercayainya. Jika ini adalah takdir Tuhan, tidak ada lagi yang bisa di  lakukan.

*****

Kylie kini sudah beranjak dewasa, ia sedang menikmati sunset di balkon kamarnya. Mungkin sebagian orang menganggap itu adalah hal yang biasa tetapi tidak baginya. Selain bukti kebesaran Tuhan, sunset adalah simbol kenangan bahagia dan juga simbol kenangan sedih-nya.

“Ma, Pa, aku ingin terbang bebas mengepakkan sayapku seperti angel  tapi satu sayapku terbelenggu ... ” jeda, “di sini.” lanjutnya berucap dalam hati. “Aku harus bagaimana?” tanyanya lirih pada angin yang berhembus.

“Jangan putus asa, Kylie yang aku kenal tidak mudah menyerah.” ujar Nyle yang ikut bergabung bersamanya, memberi semangat disertai senyuman.

“Dan Kylie-ku selalu tahu cara mencapai tujuannya itu.” timpal Dynant yang tiba-tiba juga ikut bergabung.

“Terima kasih tapi kalian berdua mengganggu. Aku lebih suka di sini,  sendirian. Lebih baik kalian keluar dari kamarku. Sorry.

“Baiklah, ayo Dynant kita keluar. Kylie butuh privasi.”

“Ok.”

Nyle dan Dynant pun memilih keluar, Kylie telah mengusir mereka secara halus.

“Kylie,” panggil Justin yang berdiri bersandar pada kusen pintu penghubung balkon. Kamar Justin dan Kylie letaknya bersebelahan.

Kylie menoleh. “Ya.”

“Bebaskan sayapmu yang satunya, kepakkan, dan terbang dengan indah. Raih impianmu dan aku selalu di sini, mengawasimu.” setelah berkata, Justin masuk lagi ke kamarnya.

Kylie pun tersenyum. “Terima kasih, Just.



Starting from SunsetDonde viven las historias. Descúbrelo ahora