BAB 9

3K 335 2
                                    

*Kevin's POV

Elysia keluar dengan air mata di pipinya. Dia langsung lari menuju pintu keluar. Rin berteriak memanggilnya dan mencoba untuk mengejarnya tapi Rheel menahannya dan aku berterima kasih dalam hati ke Rheel karena itu.

Aku lari melewati Rin dan Rheel dan dengan mudah mencapai Elysia yang sudah berada di dalam lift. Pintu liftnya sudah mau tertutup tapi aku menahan pintunya dengan lenganku. Berlarian seperti ini tidak mungkin membuatku kehabisan napas.

Dia terkejut saat melihatku tapi air matanya masih tetap mengalir.

Aku diam sambil mengamatinya. Mungkin dia membutuhkan waktu supaya bisa menceritakannya. Dari pada aku memaksanya keluar, aku masuk ke dalam lift bersamanya dan menekan lift ke arah atap.

Dia tampaknya tidak tahu ke mana lift ini pergi tapi dia tetap diam dan menangis walaupun dia mencoba untuk menghentikan tangisannya.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang sebaiknya kulakukan? Pikirku sambil melihatnya yang masih terus menangis.

Aku menghela napas panjang dan dengan cepat menarik lengannya dan membawanya ke dadaku.

Dengan bunyi buk!, wajahnya mengenai dadaku dan dia membeku. Aku segera menepuk - nepuk kepalanya dan dia kembali terisak.

Perlahan – lahan aku merasa kalau bagian dadaku jadi basah karena air matanya dan bunyi dentingan lift menyatakan kalau kami sudah berada di atap.

"Ayo Elysia, kita keluar." Kataku pelan sambil mencoba menatap matanya yang masih terkubur di dadaku.

Dia perlahan – lahan menarik tubuhnya menjauh dan berhenti terisak kemudian mengikutiku keluar dari lift. Untung saja peralatan di sini sangat canggih sehingga pintu liftnya tidak tertutup sebelum kami keluar.

Aku mengajaknya pergi ke salah satu ujung atap. Elysia sudah berhenti menangis tapi matanya merah dan bengkak.

Aku duduk di lantai tapi dia membatu di belakangku. Aku menatapnya dan menepuk lantai di sampingku−mengisyaratkannya untuk duduk.

Dia melangkah dengan perlahan lalu duduk tepat di sampingku. Kedua kakinya dilipat hingga ke dadanya dan kedua tangannya menahan kakinya hingga dia terlihat makin kecil.

Angin membelai rambut coklatnya dan membuatnya bergoyang. Matanya menerawang dan terlihat tidak fokus. Mungkin sebaiknya aku menanyainya sekarang.

"Ada apa sebenarnya?" tanyaku tanpa basa basi.

Dia menggelengkan kepalanya dan berkata. "Aku tidak mendapatkannya."

Aku diam sambil berpikir kemudian bertanya lagi. "Maksudmu Destiny Weapon?"

Dia mengangguk lalu membenamkan wajahnya di atas lututnya.

Aku menepuk kepalanya dan dia terkejut namun tetap tidak bergerak.

Aneh, belum pernah ada orang yang tidak menerima Destiny Weapon sebelumnya dan tadi aku merasa Identify Markku aktif artinya dia sudah mendapatkan Destiny Weaponnya−tidak, bahkan dia sudah bergabung dengan Destiny Weaponnya. Berarti mungkin Destiny Weaponnya sudah berada di dalam tubuh Elysia?

Tapi memangnya ada kasus seperti itu? Setauku Destiny Weapon selalu berbentuk senjata atau benda. Dan lagi tidak mudah menyatu dengan Destiny Weapon untuk pertama kalinya. Atau jangan - jangan...

Tiba – tiba Elysia tertawa dan menghapus air matanya. "Aneh, kenapa aku menangis ya? Saat berada di dalam ruangan itu aku baik – baik saja tapi kenapa setelah aku memasukkan tanganku ke dalam kolam itu aku menangis? Air mata ini keluar begitu saja dan aku malu sekali karena yang lainnya melihatku."

"Kau bukan menangis karena tidak mendapatkan Destiny Weapon?"

Dia awalnya diam kemudian berkata. "Entahlah, tapi aku sudah menangis sebelum aku menyadari kalau aku tidak mempunyai Destiny Weapon."

Aku jadi makin yakin kalau dia sudah mempunyai Destiny Weapon. Karena orang yang sudah mempunyai Destiny Weapon pasti menangis−termasuk aku. Ya benar, kejadian itu cukup memalukan tapi Rheel sama sekali tidak menangis. Aku sudah sangat lama mengenalnya dan kematian ibunya serta hancurnya kerajaannya sangat berdampak padanya. Mulai dari situlah dia mulai menutup emosinya.

"Maaf Kevin kau jadi repot karena aku." Katanya tersenyum secara terpaksa lalu berdiri. "Sudahlah, aku baik – baik saja. Lebih baik kita kembali sekarang."

Aku menahan tangannya dan dia berhenti melangkah lalu menatapku. "Kau yakin? Kita masih bisa duduk sebentar untuk melihat pemandangan di sini." Aku tersenyum−sesuatu yang jarang kulakukan.

Dia terkejut untuk beberapa saat kemudian duduk di sampingku lalu tersenyum dengan lemah. "Sebentar saja tidak apa – apa kan?"

-------------------------------------------------------

Hi guys!!

Gimana menurut kalian?? So sweet ya? XD

Maaf chapter kali ini pendek, soalnya Kevin bukan orang yang suka bicara terlalu banyak (alasan lagi)

Yak, intinya author akan terus berusaha!!!

Mohon dukungannya dan terima kasih atas vote yang telah di berikan! :*

Wait for the next chapter okay~

Ciao~

LEGEND OF ASWALD - Quarter 0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang