Epilog

1.4K 96 1
                                    

Walaupun satu per satu hal sudah kita lewati, pasti akan ada lagi persoalan yang datang.

Dan, hanya manusia yang kuat yang akan bertahan di dunia yang kejam ini.

[-]

Sepuluh tahun kemudian

Jeritan bayi mungil itu berulang-ulang kali terdengar. Seorang perempuan dengan senyumnya yang manis mengusap-usap bayi itu dengan penuh kasih sayang. Bayi itu menggerak-gerakkan tangannya, ingin menggapai rambut sang ibu.

"Anak kita lucu, ya." Perempuan dengan wajah cantik itu lagi-lagi tersenyum.

Laki-laki di sebelahnya juga ikut tersenyum senang. "Makasih sudah melahirkan bayi ini ke dunia, Drin."

Adrina terkekeh pelan. "Terimakasih sudah mau menjadi ayah dari anak kita, Sean."

Mereka saling melempar senyum. Tertawa bahagia dengan kondisi sekarang. Melupakan masa lalu yang bisa terbilang tidak indah. Dan terus menatap masa depan yang mungkin akan secerah matahari.

[-]

Sepuluh tahun kemudian

Anak laki-laki dengan matanya yang berwarna biru menatap langit yang sama-sama berwarna biru. Tersenyum cerah secerah pagi ini.

"Ma, pa, aku berangkat dulu," teriaknya dengan penuh semangat.

Sang ibu yang sedang sibuk di dapur juga berteriak, "Iya, Sayang. Jangan lupa bawa bekal yang mama sudah siapkan."

"Iya, ma." Anak laki-laki dengan rambut berwarna hitam legam itu berlari-lari kecil. Menendang-nendang batu dengan semangat yang membara.

"Hey, mata biru." Panggilan itu membuat anak laki-laki itu berhenti melangkah. Wajahnya berubah menjadi datar.

"Benar-benar beruntung, kita bertemu si monster di tengah jalan. Perlu kita habisi dia dulu, Ndo?" Laki-laki lain di sebelah tersenyum penuh arti.

"Betul juga, Anta. Monster seperti dia nggak boleh hidup. Atau setidaknya, dia hanya hidup di rumah terus-menerus."

Laki-laki tadi yang disebut monster menggeram marah. Tangannya terkepal dengan keras. Kalau tidak mengingat pesan ibunya, pasti ia sudah menghabisi dua laki-laki itu.

"Ayahnya saja, juga sama-sama monster. Mereka tidak pantas hidup."

Mendengar ayahnya yang disebut-sebut, laki-laki yang disebut monster itu meninju wajah Anta dengan sadis. Kepala Fersen, laki-laki yang disebut monster, berdenyut dengan keras.

Teringat dengan obrolan ayah ibunya yang tidak sengaja ia dengar.

"Anak kita, Fersen, dilahirkan dengan kutukan dari Willys Brande. Kita harus bagaimana, Sean?" Adrina menangis terisak-isak.

"Tapi dia juga harus hidup, Drin. Merasakan indahnya dunia."

Fersen yang tidak sengaja mendengar obrolan itu masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak percaya. Kalau ini takdir, nggak pernah ada yang bisa merubahnya, kan?

"Aku monster yang akan bisa membunuh kalian sewaktu-waktu. Jangan pernah bermain-main denganku." Fersen memandang sinis Anta dengan Ando. Membuat mereka berdua langsung lari terbirit-birit.

Takdir nggak akan pernah bisa diubah oleh siapa pun.

Epilog End

Pemburu Hantu [End]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin