Bab 9 - Dokter Raizal

9K 627 19
                                    

Dokter Raizal's POV

Pukul 23.45

Sesekali aku melirik pada jam yang berada didinding kamar. Hari sudah sangat larut tetapi aku masih belum bisa memejamkan mata. Entah mengapa pikiranku terus menerawang jauh. Otakku seperti dipaksa untuk mengingat kejadian yang baru aku alami beberapa waktu yang lalu.

Saya bukan Alin! Tolong saya dokter! Saya bukan Alin! Harus berapa kali saya katakan kalau saya bukan Alin! Bahkan saya bisa membuktikan kalau saya benar benar bukan Alin! saya hanya orang yang terjebak dalam tubuh ini.

Suara itu terus terngiang-ngiang diseluruh bagian otakku. Membuatku semakin frustasi karena entah mengapa bayangan Alin terus muncul disetiap bagian otakku. Aku dapat mengingat betul tangisan Alin saat itu. Dia ketakutan, sorotan matanya penuh dengan keputus-asaan.

"Fara," aku hanya bisa mendesiskan nama itu.

"Tapi siapa Fara? Kenapa Alin terus-terusan menganggap dirinya adalah Fara?

Aku menatap pada langit-langit kamar ini. Pikiranku menerawang jauh. Aku kemudian mengusap-usap mukaku. Memikirkan semua ini benar-benar membuatku frustasi. Kepalaku terasa sangat berat dan perlahan rasa kantuk menyerangku. Hingga akhirnya aku sudah lupa kapan tepatnya aku memejamkan mata untuk menjemput tidurku.

***

Hari sudah siang ketika kakiku melangkah masuk kedalam rumah sakit. Seluruh pikiranku yang terus memikirkan Alin semalam suntuk, telah membuatku terlambat. Bahkan, aku juga menunda jadwal keliling bangsal untuk memeriksa setiap pasienku yang harus aku lakukan setiap pagi.

Aku melenguh panjang. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang dan aku masih mengoreksi pekerjaanku yang ada dikantor. Belum lagi masalah yang baru saja aku tangani, ketika tiba-tiba salah satu pasienku ada yang meninggal, dan keluarga pasien meminta untuk dilakukan autopsy. Membuatku mau tidak mau harus menghubungi dokter forensik untuk segera meminta bantuan padanya.

Tok Tok Tok

Aku mengetuk pintu tiga kali saat berada didepan ruangan autopsi untuk bertemu dengan dokter Andi.

"Masuk," beberapa saat kemudian terdengar suara dari dalam ruangan yang menyuruhku untuk segera masuk.

"Selama siang dok," sapaku ketika aku sudah masuk kedalam ruangan ini. "Ini dokumen dan berkas-berkas dari pasien yang tadi kubicarakan." Ucapku sambil meletakkan berkas ini didepan mejanya.

Dokter Ardi mengangguk. "Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum kearahku.

Aku hanya bisa membalas senyuman itu kemudian mengibas pandangan kesekitar ruang autopsy. Aku bergidik ngeri saat pandanganku mengibas. Bulu kudukku meremang saat menyadari bahwa ruangan ini adalah ruang yang biasanya digunakan untuk membedah jasad guna kepentingan penyidikan dari jasad-jasad yang dinilai janggal dalam kematiannya.

"Kenapa dok? Apa ruangan ini sebegitu menakutkan sampai-sampai kamu bergidik ngeri seperti itu?" tiba-tiba dokter Andi memecah lamunanku. Rupanya dia sedang memergokiku saat bulu kudukku hampir berdiri semuanya.

"Ah, tidak." Aku langsung menggeleng menutupi rasa gugupku. "Kalau begitu aku pamit dulu." ucapku pada dokter Andi.

Dokter Andi menganggukkan kepalanya. Membuatku langsung melangkahkan kakiku untuk segera pergi dari ruangan ini. Tapi, baru saja aku akan membalikkan tubuhku, sesuatu yang ada disamping tempat tidur dorong yang berada diujung ruangan benar-benar menganggu penglihatanku.

Ketika Aku MatiOnde histórias criam vida. Descubra agora