Bab 11 - Apa aku gila?

7.7K 565 8
                                    

POV Alin

Malam ini, aku masih mengurung diri. Sudah dua hari aku tidak keluar dari kamar. Tak kuperdulikan bunda Aini yang terus-terusan membujukku untuk keluar dari kamar. Aku sudah sangat frustasi. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan saat ini. Semua orang tidak percaya kepadaku. Bahkan, kedua sahabatku malah mengusirku saat aku memberitahukan pada mereka kalau aku masih hidup.

Mereka malah menganggapku gila. Disaat aku sudah susah payah untuk memberikan penjelasan pada mereka, mereka masih saja menganggapku sebagai orang yang tidak waras.

Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Semua hal yang kulakukan ternyata sia-sia belaka. Aku seperti terjebak dalam tubuh ini. Dan entah sampai kapan mereka semua akan menganggapku sebagai Alin.

Tok Tok Tok

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Beberapa saat kemudian seseorang nampak masuk kedalam kamar ini. Dia tersenyum saat menatapku. Ia kemudian berjalan mendekat lalu duduk ditepi ranjang tepat sampingku yang sedang tertidur.

"Sudah berapa hari kamu seperti ini Alin," ucap bunda Aini. Ia kemudian membelai rambutku dengan penuh kasih. "Bunda tahu, amnesia adalah hal paling sulit bagimu. Tapi bunda janji. Sekuat tenaga bunda, bunda akan membantu kamu." Ucapnya lagi.

Aku masih diam. Tak kuperdulikan kata-katanya yang terus menyemangatiku. Apakah dia tidak tahu kalau sekarang aku sedang menderita? Apa dia tidak tahu kalau aku bukan Alin dan sangat frustasi karena terjebak didalam tubuh yang konon katanya bernama Alin? Perlahan air mataku menetes saat aku memikirkan hal tersebut.

"Sudahlah. Jangan terus siksa dirimu dengan mengurung diri didalam kamar." Ucap bunda Aini.

Aku menghela nafas sebentar sebelum akhirnya aku menatap kearah bunda Aini. "Apa aku gila?" tanyaku spontan.

Bunda Aini langsung menggeleng-geleng. "Ya Tuhan Alin. Kenapa kamu berkata seperti itu?" bunda Aini nampak mengerutkan dahinya. "Kamu tidak gila. Kamu hanya kebingungan karena semua memorimu hilang." Ucap bunda Aini.

"Tidak. Harus berapa kali aku katakan. Aku tidak amnesia." Ucapku meyakinkan bunda Aini. Entah mengapa tangisanku semakin kencang saat aku mengucapkan kalimat itu.

"Bunda janji. Bunda akan menemanimu sampai kamu ingat semuanya."

"Tapi...."

Belum selesai aku melanjutkan kata-kataku untuk berdebat semakin jauh dengan bunda Aini. Terdengar suara pintu dibuka. Seorang anak laki-laki yang sebelumnya kukenal masuk kedalam kamar ini.

"Alan..." ucap bunda Aini.

Anak laki-laki itu kemudian berlari kearah bunda Aini.

"Astaga Alan kenapa kamu belum tidur?" ucap bunda Aini. Ia terlihat melihat jam yang ada didinding kamar kemudian mengerutkan dahinya saat menyadari bahwa waktu sudah menujukkan pukul sepuluh malam.

Alan menggeleng. Ia kemudian menjauh dari bunda Aini lalu memeluk boneka teddy bear yang tadi ia bawa. "Bunda antarkan ke kamar kamu ya. Kamu harus tidur. Ini sudah malam," ucap bunda Aini.

Tiba-tiba Alan menggeleng lagi. Bocah berumur lima tahun itu sepertinya memang belum mengantuk.

"Kenapa Alan?"

Tiba-tiba kepala mungilnya mendongak. Ia kemudian menatap bunda Aini lekat-lekat. "Kak Alin kapan pulang bun?" tanyanya tiba-tiba.

Mendengar pertanyaannya, spontan langsung membuat bunda Aini kaget. Aku juga langsung mengerutkan dahiku saat mendengar pertanyaan dari anak kecil polos itu.

"A-apa maksud kamu sayang?" bunda Aini langsung menoleh kearahku. "Ini kak Alin. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Alan menggeleng. "Bukan," jawabnya. "Dia bukan kak Alin."

Dan perkataannya membuatku terkesiap. Sebuah kata-kata polos dari seorang anak kecil ternyata membuatku kaget bukan kepalang. Sudah dua kali dia mengatakan kalau aku bukan Alin.

Apa itu artinya dia tahu kalau aku bukan kakaknya? Aku menelan ludahku sendiri karena pada akhirnya ada salah satu dari sekian banyak orang yang percaya kalau aku bukan-lah Alin.

Tiba-tiba Alan memicingkan matanya saat menatap kearahku. Ia kemudian berlari. Ia keluar dari kamar ini dengan terburu-buru.

Ya Tuhan anak kecil itu?

Tiba-tiba tubuhku bergetar saat mengingat kembali perkataan yang dilontarkan oleh anak polos itu. Jadi dia tahu kalau aku bukan Alin? Apakah ini tanda bahwa ada secercah harapan untuk membuktikan ke orang-orang bahwa aku bukanlah Alin?

"Maaf. Maafkan aku Alin." Bunda Aini langsung menatapku saat melihat Alan keluar dari kamar ini. "Mungkin Alan sedang syok. Mungkin dia masih belum menerima kenyataan kalau kamu amnesia dan tidak mengingat semuanya. Kamu tahu anak kecil kan? Dia pasti sangat frustasi ketika kamu tidak mengenalnya sebagai adik kandungmu sendiri sehingga dia menganggapmu sebagai orang lain." Ucap bunda Aini menerangkan.

Beberapa saat kemudian bunda Aini keluar dari kamar. meninggalkanku yang masih tenggelam dalam pemikiranku sendiri.

***

Pagi hari ini aku bangun dari tidur panjangku. Cahaya matahari mulai masuk menyelinap dari arah jendela kamarku. Membuatku mau tidak mau langsung membuka mata.

"Selamat pagi Alin."

Aku kaget saat mendengar sapaan itu. Tiba-tiba bunda Aini sudah duduk tepat disampingku. "Bagaimana tidurmu?" ucapnya kemudian.

"Baik," jawabku singkat.

Tercium bau aroma masakan saat aku bangkit dari ranjang. Mataku menyipit saat melihat sebuah makanan terhidang diatas meja. "Bunda sudah menyiapkan makanan untukmu. Bunda harap kamu mau memakannya sebelum kamu berangkat ke sekolah."

"Sekolah?" tanyaku spontan. Nafasku tiba-tiba terasa berat ketika bunda Aini menyinggung masalah sekolah dihadapanku.

"Iya, Alin. Bunda harap kamu mau masuk sekolah lagi. Kamu sudah terlalu banyak libur. Bunda takut itu akan membuatmu tinggal kelas." Ucap bunda Aini menjelaskan.

"Tapi... aku...."

Belum selesai aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba bunda Aini langsung meninggalkan kamar ini. Sepertinya bunda Aini sengaja untuk pergi dari sini sebelum aku mencari alasan agar tidak pergi ke sekolah.

Ketika Aku MatiWhere stories live. Discover now