2 - Angin Alus

278 34 13
                                    

- Lagu : Angin Alus (lagu tradisional Sasak, Lombok)
- Author : febrianasa

***

Sudah larut malam. Mataku terkantuk-kantuk ingin tidur tetapi tugas sialan itu belum bertemu dengan titik penyelesaiannya. Memang betul Kimia butuh pengorbanan sangat, dalam pengerjaannya. Selain soal bejibun dengan tingkat kesulitan di atas rata-rata, guru yang mengajari pun teramat killer. Daripada pusing, aku memutuskan untuk ke dapur mencari makanan ringan.

Gelap.

Itulah yang kudapati ketika membuka pintu kamarku. Gelap yang benar-benar gelap. Biasanya mama menyalakan lampu emperan yang cahayanya masih bisa diakses melalui dapur.

Aku melangkahkan kakiku ke luar kamar dan tiba-tiba semua berubah. Gelap tadi yang kutemui tergantikan dengan sinar mentari yang sepertinya masih malu untuk keluar. Tetapi anehnya banyak orang yang sudah berlalu-lalang dan memikul bakul di atas kepalanya. Sepertinya mereka adalah pedagang. Aku berjalan, terus berjalan meski tahu aku tak lagi berada di abad ke-20.

Sedikit banyak di antara sinar yang masih malu untuk tampak, satu tempat yang bisa kulihat dan kuyakini bahwa tempat ini adalah persis desaku. Gunung yang menjulang yang kuyakini itu adalah gunung Sasak. Langkah kaki terdengar dari arah berlawanan membuat aku sedikit takut.

"Dende!" Tepukan di pundakku membuatku berjengit kaget. Aku memutar badanku 180 derajat dan menemukan gadis seumuran denganku tengah tersenyum."Mbe de lumbar? (Baca: mau ke mana?)"

Aku tak tahu harus merespon seperti apa. Jadi aku hanya tersenyum.

Dende? Tanyaku dalam hati. Heran saja. Sejak kapan namaku berubah?

Gadis tadi menarik tanganku dan membawaku entah ke mana. Sampai akhirnya kami tiba di sebuah gubuk kecil dengan rotan sebagai temboknya, lantai yang beralaskan tanah, dan jerami sebagai atap rumah.

"Masmirah, kemana saja, Nak?" Suara seorang wanita yang kutaksir umurnya 45 tahun keluar dari gubuk kecil itu.

"Abis jemput kawan dari dimensi lain. Inak (baca: ibu) sudah selesai masak, 'kan?" Tanya gadis yang berada di dekatku yang ternyata namanya adalah Masmirah.

"Nggeh," jawab wanita tua itu."ayo masuk, kita sarapan bersama," lanjutnya.

Masmirah mendahuluiku berjalan masuk ke dalam gubuk itu. Ketika dirasa aku tak ikut berjalan, Masmirah berbalik dan berkata,"Ayo."

Aku pun mendatanginya.

***

Aku mendongak. Melihat matahari. Mencoba memprediksi waktu. Aku coba menerka-nerka dan kuyakin sekarang adalah pukul sepuluh pagi.

"Dende, ikut?" Tanya Masmirah yang keluar dari arah gubuk.

"Kemana?" Tanyaku.

Tangannya menunjuk gunung yang berada di belakangku."ke sana. Kita nyari kayu bakar."

"Oh... oke." Aku mengekorinya dari belakang.

Suasananya tenang. Angin seakan tak ada, tak membelai rambutku seperti biasanya. Padahal begitu banyak pohon rindang nan lebat. Hijau memanjakan mata sepanjang sudut yang terlihat. Tak ada gegundulan yang meresahkan. Tak ada panas yang berlebihan akibat polusi. Semua masih asri.

Setapak namun pasti. Kakiku melangkah mengikuti Masmirah yang berjalan lumayan jauh dariku. Aku masih beranggapan ini mimpi. Tapi, adakah mimpi nyata macam ini? Entahlah. Aku hanya mencoba menikmati meski di sini namaku bukan Kiki melainkan Dende.

Tiba-tiba dari arah depan suara ribut menggelegar, menumbangkan pepohonan, memporak-porandakan apa yang di lewatinya. Angin, entah berasal dari mana. Suasana tenang tadi, kini berubah menjadi ribut. Angin yang datang menyapa bagaikam Tornado, begitu dahsyat. Lalu mataku melihat Masmirah yang tak lagi di posisinya melainkan dia ada di antara pusaran angin yang melingkar ganas. Menerbangkannya entah kemana.

Ketika kondisi mulai stabil, aku yang anehnya berada dekat dengan angin Tornado tadi tak ikut diterbangkan. Padahal jarakku tak begitu jauh.

Aku menelisik, melihat keadaan sekitar. Semua hancur. Entah seperti apa lagi rupanya gubuk yang kutemui tadi pagi. Yang jelas hancur tak bersisa akibat dari angin yang maha dahsyat.

Ado anakku Masmirah
Buak ate kembang mate
Mulen tulen kubantelien
Sintung jari salon angin

Aku mendengar nada-nada memilukan. Suaranya menyayat hati. Suara kesedihan dan ketidakrelaan seorang ibu ditinggal oleh anaknya. Nada-nada kasih sayang. Aku masih mendengarkan nada-nada yang tanpa kusadari membuat air mataku meleleh berjatuhan bagai rintikan hujan.

Berembe bae side dende
Jangke ngene
Buak ate kelepangen isik angin
Laguk temah side dende
Bau bedait malik

Aku ingat nada-nada ini. Lagu yang kupelajari di sekolah, Angin Alus. Lagu tradisional Sasak, Lombok. Ya, tidak salah lagi. Apakah sekarang aku dibawa ke dalam dimensi di mana kejadian Masmirah di terbangkan oleh Angin? Mengapa begitu aneh?

Pun tetap saja, tak kupedulikan apapun saat ini. Aku terlalu larut dalam nada-nada itu. Nada-nada yang seakan memberitahu bagaimana ibu Masmirah begitu terpukul kehilangan anaknya. Sampai dia berharap akan bertemu lagi. Lalu, aku seperti teringat Mama. Bagaimana Mama begitu menyayangiku meski aku terlampau sering membuatnya didekati penyakit, sebut saja hipertensi. Tetapi, siapa tahu hati seorang ibu?

Teringat pula bahwa lagu itu mencerminkan bagaimana seorang Ibu begitu sayang terhadap anaknya. Tak ingin kehilangan, meski acapkali si anak berbuat salah tetapi Ibu selalu memaafkan. Dan ... ketika sesuatu hal yang menimpa diri, ibulah orang terdepan yang paling khawatir, ibulah yang paling merasa kehilangan, ibulah yang paling merasa terpukul, ibulah yang selalu berdiri di garis terdepan demi anak-anaknya. Oh, Mama.

Aku membuka mata yang sedari tadi kupejamkan dan anehnya aku sudah kembali ke masa kini. Aku sudah berada di rumahku. Mata sembab, akibat menangis masih dirasa sedikit perih. Di kegelapan malam yang diterangi lampu emperan, aku berlari menuju kamar Mama. Beringsut memeluknya yang tertidur pulas di kasur. Papa yang dinas keluar kota, membuatku leluasa memeluk Mama.

"Kiki sayang Mama," ucapku mengeratkan pelukan.

***

Raisin Des Sables [challenge songfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang