8 - Pamit

119 15 1
                                    

Song : Tulus - Pamit

Author : mrnkantc

***

Aku tidak mengerti mengapa semuanya harus jadi seperti ini. Kita selalu berbeda pendapat, beradu argumen, bahkan pertengkaran hebat pun kita lalui.

Jujur saja, aku lelah. Aku lelah dengan semua argumen yang ada di tengah kita. Aku lelah dengan semua pertengkaran hebat yang kita lalui. Aku merasa, bahwa kita tidak ditakdirkan bersama.

Tubuh saling bersandar

Ke arah mata angin berbeda

Kau menunggu datangnya malam

Saat ku menanti fajar

Lagu Tulus yang baru-baru ini diputar mengalun lembut dari radio, mengingatkanku akan kita. Entahlah, aku juga tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaan ini.

Mencoba memantapkan hatiku, aku mengambil telepon genggamku, lalu mulai menekan nomor teleponmu di sana.

"Halo, Drian?"

"Fana, kita perlu bicara, sekarang."

***

Samar-samar, aku bisa melihat sosok Fana yang berjalan menghampiri mobilku. Ya, aku memintanya untuk bertemu di taman tempat kami sering berkencan dulu.

"Ada apa, Drian? Tumben kamu minta aku ketemuan. Ada yang mau kamu omongin?" Tanya Fana to the point.

Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut ku hilang

Aku menghela nafas dalam-dalam, mencoba mengatakan hal yang mengganggu hatiku belakangan ini.

"Kita berusaha keras untuk mempertahankan hubungan kita," ucapku memulai percakapan. "Segala adu mulut, pertengkaran, bahkan acara maki memaki sudah kita lakukan. Aku gatau harus gimana lagi, Na," lanjutku sambil menghela nafas dalam-dalam.

"Apa maksud kamu?" Tanya Fana terkejut. Dia tidak menyangka kalau aku akan mengeluarkan kata-kata ini. "Aku gamau kehilangan kamu, Adrian. Walaupun hubungan kita udah di ujung tanduk, apa kamu masih gamau untuk mempertahankannya?"

"Susah, Fana. Segala yang terjadi di antara kita, semuanya sangat sulit dijelaskan." Ucapku frustasi.

Perdebatan apapun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu

Kami berdua terdiam selama beberapa saat. Kesunyian menerpa kami, seolah tidak ada kata yang bisa dirangkai untuk diucapkan lagi.

"Jadi," sahut Fana, memecah kesunyian yang membungkam kami dalam waktu yang lama, "apa maumu?"

"Fana," sahutku sambil menghela nafas. "Aku ingin... menyudahi semua ini."

Petir serasa menyambar Fana ketika aku mengucapkan kata-kata itu. Matanya membulat, dia menutup mulutnya tanda shock atas apa yang aku katakan.

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya tak lagi ku milikmu

"Tapi, kenapa, Adrian!? Kenapa harus kayak gini!?" Serunya tidak terima. Air matanya mengalir deras, tampaknya dia merasa terguncang. Ah, aku merasa bersalah padanya.

"Maaf, Fana," ucapku sambil memeluknya. Jujur saja, aku ingin sekali menangis, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menunjukkan air mataku. Sejujurnya, aku masih sangat sayang padanya. Namun kurasa, putus mungkin hal yang terbaik, setidaknya untuk saat ini.

"Adrian, tolonglah. Aku mencintaimu. Aku ingin mempertahankan hubungan ini. Aku ingin memperbaiki semua dari awal. Apa..." Fana menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya melanjutkan, "kita tidak bisa memperbaikinya lagi?"

Aku menggeleng. Fana mengangguk singkat, kemudian membalikkan badannya, sehingga dia membelakangiku.

Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya, ku tetap teman baikmu

"Let's be friends, Adrian," ucap Fana.

"Yeah, friends," sahutku.

"Apa setelah jadi teman, kita masih bisa jadi dekat, seperti dulu lagi?" tanya Fana datar.

"Tentu saja. Kamu temanku, bukan? Lupakan ini semua, anggap seolah-olah tidak ada apa-apa di antara kita." Sahutku. Ah, sudah berapa banyak panah yang tertancap di hati karena semua ucapanku ini.

"Baiklah. Selamat tinggal, Adrian. Jaga dirimu baik-baik." Ucap Fana sambil melangkah meninggalkan taman.

Dan disinilah aku, terduduk sambil menangisi hal yang baru saja terjadi. Menyesali setiap perkataanku. Mencoba menahan perih di hati akibat tusukan panah yang kutancapkan ini.

Aku pamit, Fana. Biarkan aku pergi dari kehidupanmu.

***

Raisin Des Sables [challenge songfiction]Where stories live. Discover now