9 - Yang Terlupakan

123 16 4
                                    

Song : Iwan Fals - Yang Terlupakan

Author : AuburnWinter

***

Denting piano kala jemari menari,

Dua belas dentang jam kuno di ruang tamu membangunkanku yang sedang nyaman dengan mimpi yang cukup ganjil, sebenarnya. Tidak, ralat, bukan ganjil, tetapi mengerikan. Aku dan pacarku berjalan berduaan, lalu berakhir dengan hal yang biasa kami lakukan.

Bermain piano.

Aneh, denting piano yang kudengar dalam mimpi masih terdengar sampai sekarang. Rangkaian nada yang mengawali lagu pusaka pemeran utama cinta kami. Rangkaian nada yang sudah biasa masuk telinga, sehingga aku hafal betul liuk-lekuknya.

Ini, maksudku itu, membuatku sedikit lebih tenang. Padahal, sampai sekarang pun jantungku masih berdegup kencang dan keringat dingin menyimbah tubuhku.

Nada merambat pelan di kesunyian malam,

Namun, rasa tenang itu tidak berlangsung lama. Di tengah keterkejutan luar biasa, aku sadari kalau selain jalinan nada itu, dunia ini sempurna sunyi. Bahan sekerik suara jangkrik pun tidak terdengar.

Apa yang terjadi? Ini ... ganjil. Terlalu aneh sampai rasanya tenggorokanku amat kering.

Saat datang rintik hujan,

Aku menelan ludah, sementara udara dingin menusuk tubuh. Air berderai menabrak kaca samar terdengar, memberi berita kalau di luar hujan lebat.

Aku berpindah ke ujung ranjang, memakai sandal di tempat biasa, untuk berdiri kemudian. Memeluk diri sendiri yang menggigil kuat karena dingin, selain karena takut. Kedua rahang aku katupkan, dipaksa agar tidak beradu.

Piano itu masih berdenting. Nada-nada kian lama kian indah. Sedikit senyum aku sunggingkan, beribu takut gencar bersarang. Siapa pula yang menekan kunci di malam hari? Adikku? Ibu? Kupikir tidak. Mereka tidak bisa bermain piano. Hanya aku yang bisa. Lantas, kalau begitu, siapa? Jangan bilang ... dia lagi.

Untuk memastikan, aku berjalan menuju sumber suara: ruang santai. Tentu saja aku berhati-hati, karena jantungku yang kini gemetar, semakin ciut setiap langkah.

Bersama sebuah bayang yang pernah terlupakan.

Aku sampai. Iya, sampai. Tepat di depan sebuah siluet gadis yang amat aku kenal, yang sedang duduk di depan piano. Nada-nada yang terlantun dari arahnya selaras dengan ayunan tangan yang dia ciptakan.

Tabir jendela yang terbuka seolah abai dengan cahaya lampu taman yang dengan sengaja menyinari piano besar di hadapanku. Itu ... cantik. Namun, suasana hujan di luar sana malah membuat momen ini terasa lebih mengerikan ketimbang membawa nostalgia.

Hati kecil berbisik untuk kembali padanya,

Separuh hatiku ingin aku mendekatinya. Merengkuh bahunya yang ringkih. Namun, separuh yang lain memaksa agar diam di sini. Aku bimbang, karena keduanya mendominasi. Tidak ada yang dominan. Aku ingin melihat pacarku lagi, tetapi takut sekali rasanya.

Seribu kata menggoda,
Seribu sesal di depan mata,

Ada bisikan halus tepat di telinga. Menggoda. Mengajak agar aku datang saja. Ada lagi, bisikan lain. Marah. Membawa ingatan lama tentang banyak hal yang seharusnya tidak pernah aku lakukan.

Bisikan lain terdengar. Kali ini mengatakan, "Ayo, kemarilah." Tidak, aku tidak berhak.

"Aku menyesal," ucapku lirih. Berusaha berbicara selantang mungkin, akan tetapi tidak bisa. Yang kutampilkan malah tangis yang amat ringkih. Jenis tangis yang bercerita tentang godaan di masa muda.

Seperti menjelma waktu aku tertawa,
Kala memberimu dosa.

Lagu yang dia mainkan hampir mencapai refrainnya. Itu ... membuat aku ingat kalau diriku benar-benar bodoh.

Aku menangis, membayangkan kita tertawa bersama dalam ruangan yang tidak akan aku datangi lagi. Kau di bawah, mendesah, membawa dunia ke atas surga, atau sebaliknya. Indah, dulu. Namun, justru .... Itu dosa, bukan? Iya, itu dosa. Aku benar-benar menyesal.

Oh, maafkanlah....
Oh, maafkanlah.

"Maafkan aku," lirihku. Dia diam.

"Maafkan aku, tolong," pintaku. Dia tidak menoleh.

Linang air mata membentuk riak sungai kecil yang katanya dapat luruhkan kesedihan. Mitos, itu tidak terjadi.

Aku teringat anakku. Tangisku semakin perih. Hatiku tersayat, rasanya ingin mati.

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi

Lagunya mencapai refrain. Aku tahu, apa yang akan terjadi setelah ini. Hatiku stagnan bergetar dalam ketakutan dan rasa sesal yang meluap. Kutekan dadaku, sesak menyerangku. Kucoba kutampik rasa ini. Namun, setelah dua tahun pun tidak dapat aku berbohong pada diriku sendiri.

Aku menyesal. "Tolong, maafkan aku."

Haruskah aku lari dari kenyataan ini

Aku berdiri, dalam hati mempertanyakan apakah aku kabur saja? Ke mana? Kenyataan begitu menyakitkan. Mengerikan. Aku ingin hilang agar sejarah tidak terulang. Aku ingin, tetapi tak bisa.

Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti.

Selalu, aku ingin bersembunyi, seperti pada malam ini di tahun-tahun sebelumnya. Selalu.

Namun, di mana pun aku berada, di mana pun aku bersembunyi, dia akan datang ketika lagu berhenti.

Dan ... lagu berhenti. Nadanya jatuh tertarik gravitasi, sunyi senyap membumbung tinggi. Sementara itu, ketakutan membuncah sampai ke puncak otak, aku berlari sejadi-jadinya.

Aku yakin, dia ikut berlari. Tidak, seharusnya tidak. Jangan. Tolong, maafkan aku karena memintamu menggugurkan anak kita.

Tolong, jangan tersenyum lagi padaku.

Itu ... mengerikan.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 12, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Raisin Des Sables [challenge songfiction]Where stories live. Discover now