04. Dumb Dilan

15.6K 1.1K 60
                                    

Lain halnya di SMA Taruna Bakti yang heboh karena kehadiran kembali Rino. Di salah satu sudut SMA Mercua Buana, di sebuah ruangan bekas klub melukis yang disulap menjadi markas Dilan dan para pelindung almamater sekolah mereka dari penyerangan SMA Persada, sekumpulan cowok merokok saling bertukar pikiran.

"Rino beneran udah pindah ke SMA TeBe? Kok pindahnya ke sekolah yang cemen begitu sih?" Suara Gustav membahana di tengah kepulan asap.

"Yoi, cemen banget. Dia kabur karena takut sama kita? Berarti di sekolah Persampah itu udah nggak ada jagoannya lagi dong, gampang banget buat kita lumpuhin semuanya." Seorang cowok bertubuh besar, kemeja seragamnya kekecilan untuk menutupi tubuhnya yang berisi otot semua itu, namanya Dino.

Mereka biasa menyebut nama sekolah lawan dengan sebutan yang jelek, mereka tak sudi menyebutnya dengan nama asli sekolah itu. Daripada lidah keseleo menyebut SMA Persada, mereka lebih suka menyebutnya SMA Persampah.

Mereka juga harus menerima karma menamakan sekolah lain jadi jelek banget, karena imbasnya nama sekolah mereka juga dirubah jadi jelek banget. SMA Beruk Buangan.

Dilan mengembuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya pelan-pelan, soal taruhan itu memang hanya diketahui oleh dirinya dan Rino. Jika ada yang tahu tentang taruhan itu, Dilan pasti sudah dikatain egois tidak mengikutsertakan rekan-rekannya dalam taruhan itu. Semua ini kan masalah pribadi, biarkan itu jadi urusan dirinya dengan Rino.

Pindah ke SMA Taruna Bakti.

Dilan memutar ulang adegan saat melihat Rino lewat depan sekolahannya memboncengi seorang cewek rok abu-abu, murid SMA TeBe. Entah mengapa Dilan jadi tertarik pada cewek mana yang bisa membuat Rino mau bersusah payah mengantar dirinya ke sekolah.

Jadi, dia pindah ke sekolah itu agar bisa terus bersama dengan cewek itu?Romantis banget.

Dia jadi penasaran ingin tahu siapa cewek itu, sayang sekali sekarang Rino satu gedung dengannya, itu akan menyulitkan Dilan untuk mencari tahu cewek itu atau stalking. Dia tidak tahu bagaimana wajahnya dan siapa namanya.

Sejak kapan Rino jadi tertarik dengan perempuan? Bukannya Rino tidak akan pernah merasakan bahagia? Istilahnya mati rasa, cuma bisa marah dan membenci. Bukannya hatinya yang sempat tumbuh kembang itu dihempas paksa menjadi mati karena kejadian pengkhianatan itu? Kejadian yang pastinya membuatnya trauma, mematikan hatinya, menjadikan emosi lebih dominan dalam dirinya.

"Nggak ada Rino pasti mereka kelabakan, hahaa," celetuk Dadan merebahkan tubuhnya di dinding sambil meniupkan asap rokok milik Dino yang dihembuskan tepat depan mukanya. "Asap lo, kampret!"

SMA Persada biasa menyerang sekolah itu duluan, siapa dulu provokatornya, Rino. Tapi sekarang pasti mereka sudah tidak memiliki nyali sebesar itu.

Saat Rino masih di SMA Tebe kelas sepuluh dulu dalam setahun kedua sekolah itu cuma tawuran beberapa kali, tidak sampai 4 kali. Tapi sejak Rino pindah, kedua sekolah itu hampir tawuran setiap bulan.

Kepala sekolah dari masing-masing sekolah tidak berani mengeluarkan murid yang terlibat tawuran, maklum sekolah swasta, untungnya beberapa anak yang terlibat tawuran adalah anak donatur sekolahan. Mereka adalah aset keuangan sekolah.

SMA Mercu Buana sedang membangun gedung gym butuh modal yang sangat banyak, dan SMA Persada juga sedang merombak gedung auditoriumnya. Tidak mau kalah dengan SMA Mercu Buana membangun lapangan yang bentuknya mirip teater terbuka ala zaman Yunani kuno untuk pertunjukan outdoor. Kedua sekolah itu memang musuh abadi. Tidak mau kalah dalam bersaing.

Donatur terbesar SMA Mercu Buana adalah papanya Dilan, jadi cowok itu bisa seenaknya saja di sekolah itu. Toh jika dikeluarkan bisa dipastikan keuangan sekolah itu akan macet, pembangunan akan berhenti.

"Emangnya lo pada masih semangat buat tawuran?" tanya Dilan tiba-tiba.

"Pastinya. Kita tunggu aja sampe di serang duluan sama SMA Persada, kita masih memegang prinsip itu kan? Kita nggak bakal menyerang duluan sebelum dia nyerang duluan, lagian tawuran yang terakhir udah impas, kita udah nyerang balik," jawab Gustav diangguki oleh Dino.

Dilan mendesah panjang.

"Gue udah nggak ada semangat buat lawan sekolah itu." Dilan tersenyum misterius.

"Lah kenapa, Man?" tanya Dadan. Gustav dan Dino saling melempar pandangan.

"Karena udah nggak ada Rino, Man?" jawab Dino tepat sekali.

Dilan memberikan reaksi kecil dengan senyum tipis dan alis terangkat.

Gustav memandangi Dilan dengan tatapan meneliti setiap inci wajahnya, terutama manik matanya yang sedang terkunci melihat ke arah tembok hampa.

Dia ingat betul seminggu setelah dirinya menginjak bangku kelas sebelas dulu, sekolahnya langsung diserang oleh sekelompok anak murid SMA Persada. Seorang cowok yang memimpin menarik kerah Gustav dan meninju wajahnya, sekarang Gustav mengenalnya sebagai Rino. Andriano Gunawan. Pertarungan itu terjadi di Jalan Pattimura dekat dengan SMA Mercu Buana.

Setelah itu Dilan datang melerai keduanya, fokus Rino berubah menjadi ke Dilan. Dia menghajar Dilan tanpa perlawanan, kemenangan telak di tangan Rino. Aneh.

Sebelumnya Dilan tidak pernah unjuk wajah, dia hanya seorang murid yang jarang masuk dan tidak naik ke kelas 12, tapi dia jadi sasaran amukan Rino.

Pertarungan berikutnya Dilan mulai berani melawan Rino, dia ditunjuk untuk melawan Rino karena cuma dia yang mampu menghadapi Rino.

"Dia biang kerok selama ini. Kalo nggak ada dia Persampah nggak mungkin nekat, liat aja nanti. Balik kayak dulu saat kalian masih kelas sepuluh, nggak serepot tahun ajaran kemarin, kan?" Dilan membakar batang rokok ke-limanya dengan raut muka cuek.

Semua anak murid yang dekat dengan Dilan adalah adik kelasnya tapi Dilan tidak pernah suka di panggil 'Kak'. Karena panggilan itu hanya akan membuat hatinya sakit dan menyesakkan.

Teman seangkatan Dilan juga sudah lulus semua jadi cowok itu masuk dalam hitungan senior yang wajib ditakuti di sekolah, selain seram dan tidak bisa dibantah, cowok itu kan lebih tua dari mereka. Senior nomer satu.

"Yah, nggak seru dong!" seru Dino kecewa, tetapi dia juga rindu masa saat kelas sepuluh. Saat kelas sebelas mereka seperti diikat dengan rantai besi, ke mana pun langkah terasa berat seperti diintai oleh mata-mata musuh.

Dilan mematikan rokok ke-limanya padahal masih tersisa panjang sekali, dia menepuk kaki Dino, Gustav dan Dadan. "Gue cabut duluan ye, beresin tempat ini jangan sampe ninggalin bau rokok. Thanks."

"Wuih, mau ke mana lo?"

"Mau pulang," jawab Dilan apa adanya. Dia keluar dari ruangan tersebut tidak melihat ekspresi tercengang dari ketiga anak buahnya itu.

**

WisdomWhere stories live. Discover now