(02) Flashback - Sekolah

4.4K 185 45
                                    

|BAB - Flashback|


Tahun 2010, tepatnya saat diriku menginjak kelas dua SMA. Aku mulai mengenal kehidupan malam yang penuh huru-hara, kemaksiatan, serta tipu daya setan. Sekolahku, merupakan salah satu sekolah favorit bagi anak-anak pintar. Nama sekolahnya adalah, SMA Pancasila.

Namaku adalah 'Iqbal Hanafi', teman-teman sering memanggilku dengan nama Hanafi, tapi ada juga yang memanggilku dengan nama Iqbal. Awalnya, aku sangat dibangga-banggakan oleh kedua orang tuaku, karena sanggup memasuki sekolah favorit itu. Tapi, aku yang menginjak usia remaja-tak luput pula dari tergiurnya kesenangan dan kemaksiatan.

Di kelas dua aku mengambil jurusan IPA. Aku duduk bersama seorang teman yang agak berantakan-dari luar maupun dalam, dia bernama Doni. Doni merupakan murid yang tidak terlalu pintar dan juga tidak terlalu bodoh, sama halnya dengan diriku. Tapi, dia sering mendapat masalah di dalam sekolah, entah itu masalah perkelahian, memalak, sampai-sampai masalah dengan guru.

Awalnya aku menolak untuk duduk sebangku dengannya, tapi karena dirasa aman, aku mengiyakan. Doni mempunyai banyak teman di sekolah ini, terutama kakak kelas yang mendirikan geng sendiri. Geng itu sangat ditakuti di sekolah ini, bahkan sampai ditakuti di sekolah lain. Awalnya aku tidak terlibat, lama-kelamaan aku mulai terlibat dalam geng sialan itu.

Pagi itu, minggu ke tiga di semester dua, kelas dua. Aku duduk melamun di depan perpustakaan, binggung harus bagaimana karena kebetulan nanti malam, malam minggu-dan aku tak punya pegangan uang sepeserpun. Bukan hanya malam minggu biasa, melainkan malam minggu istimewa, karena kami akan merayakan hari jadi yang ke-6 bulan.

Vina, merupakan kekasihku, aku sangat menyayanginya, tapi demi kebutuhan lain, aku menduakannya. Aku dicap playboy oleh teman-teman di geng-ku, karena apa? Karena dalam waktu ini, aku sudah menggebet tiga cewek sekaligus.

"Hey, kau gila kawan, tiga cewek kau gebet, lah aku sendiri, malah belum satupun punya." Roni meledekku, dia merupakan kakak kelas yang menjadi anggota tertua di geng Arjuna.

"Ah, semua cewek di sekolah ini sudah di sikat semua sama si Hanafi. Makanya, kau harus belajar darinya, Ron." Doni ikut tertawa, meledekku. Aku diam, kesal melihat tingkah mereka yang selalu memojokanku dengan obrolan yang basi itu.

"Hey, bagaimana dengan si Puspa itu? Anak baru itu loh?" Roni sepertinya ingin menantangku.

"Puspa? Kelas berapa? Gue belum pernah lihat?"

"Kelas sepuluh satu-lah, cantik loh, anak orang kaya lagi. Kau bisa dapat cinta sekaligus uang berjalan." Roni tertawa, diikuti teman-teman lainnya. "Bagaimana? Lo tertarik? Atau jangan-jangan, lo gak punya nyali untuk deketinnya."

"Enak aja, tidak ada di dalam kamus hidup gue. Siapapun cewek di sekolah ini, pasti bisa gue taklukin hatinya."

"Tapi, ingat ya. Jangan sampai lo deketin satu cewek di sekolah ini." Roni mengancam, raut wajahnya mendadak berubah menjadi monster.

"Cewek siapa-lah? Kalau lo kasih tau ke gue, gue gak bakal deketin tuh cewek."

"Namanya Puspa, dia target gue. Kalau sampai lo deketin dia, gue gak segan-segan ngehajar lo sampai babak belur." Roni terkekeh.

"Apaan! kata lo tadi, gue disuruh deketin Puspa. Sialan lo." Aku kesal, lekas beranjak pergi dari depan perpustakan.

"Hey, mau kemana, tunggu!" seru Doni.

Ngomong-ngomong soal pacaran, jujur-detik ini aku punya tiga gebetan. Mereka berbeda-beda, yang pertama bernama Vina, dia memang kekasihku-sejak dari kelas satu SMA. Dialah yang aku seriuskan, karena baik, pengertian, serta bisa menerimaku apa adanya. Yang kedua, bernama Lisa, dia tidak cantik sih, menang body saja, seksi. Aku tidak terlalu suka dengannya, hanya karena uang saja, aku gebet dia. Dan yang terakhir, bernama Putri. Dia gadis yang aku dapatkan setelah teman-teman satu geng-ku menantangku untuk berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Putri adalah gadis tomboy di sekolah ini yang agak pemalu, hobinya bermain basket, cukup sulit untuk mendapatkan hatinya, tapi bagiku, tak ada yang tak mungkin.

Geng Arjuna mengacungi jempol kepadaku, saat berhasil mendapatkan hati gadis tomboy tersebut. Bahkan mereka menepati janji dengan membelikanku sepeda motor matic versi baru yang harganya masih wah. Sepeda motor matic, bagi mereka sangat kecil, karena mereka merupakan anak-anak orang kaya, mungkin aku sendiri yang paling miskin di antara mereka. Motor matic yang masih ku pakai untuk pulang pergi berangkat ke sekolah-hasil dari taruhan yang aku menangkan dengan mudah.

Malam minggu, aku bersiap diri, menyisir rambut biar terlihat rapi, memakai kemeja cokelat kotak-kotak, celana jeans hitam. Aku menelpon Lisa, pacar keduaku yang bergelimang harta itu, aku mengajaknya bertemu malam ini di depan rumahnya. Dia sempat menolak, justru memintaku untuk jalan-jalan ke taman kota, tapi aku punya janji dengan Vina, bisa hancur rencanaku-karena rencanaku menemui Lisa, hanya untuk meminta uang saja.

"Butuh berapa?" Lisa memajukan bibirnya ke depan, tangannya bersedekap. Memasang wajah cemberut, karena baru saja aku menolak ajakannya.

"Tiga ratus ribu saja. Kalau gak ada, juga gak papa kok." Aku memasang wajah memelas.

"Tunggu sebentar." Lisa masuk ke dalam rumahnya, selang beberapa menit dia keluar dan membawa tiga lembar uang seratus ribu rupiah.

"Ikhlas gak?" tanyaku.

"Ya, ya, lain kali jangan tolak ajakanku ya. Oke, kali ini aku paham, kamu sibuk dengan lomba futsalmu itu. Semoga menang ya sayang."

"Doakan ya sayang." Aku lekas memakai helm, Lisa terlihat tersenyum, melambaikan tangan. Aku bergegas menuju ke restoran tempat kami berjanji dengan Vina, kekasihku yang sesungguhnya.

Lima belas menit, perjalanan dari rumah Lisa ke restoran. Aku memarkirkan motor di tempat parkir yang sudah di sediakan oleh restoran. Malam minggu, restoran terlihat ramai, banyak muda-mudi yang melepas rindu disini, begitu pula dengan diriku. Dengan mantap-karena sudah mengantongi uang hasil pemberian dari Lisa, aku melangkah dengan tenang menuju ke meja nomor-7 yang sebelumnya sudah di pesan oleh Vina jauh-jauh hari.

Aku lekas duduk, "Maaf ya, agak lama."

"Gak kok," jawab Vina singkat, sepertinya dia sedikit marah, karena lama menunggu.

"Tadi, ada urusan mendadak."

"Urusan dengan geng-mu lagi?"

"Hmm, bukan kok, tadi ibuku mendadak menyuruhku beli nasi goreng di warung depan gang."

"Oh, aku kira kamu gak inget kalau ada janji denganku malam ini."

"Siapa sih yang gak inget, ini kan malam minggu spesial sayang. Hari ini kan kita merayakan hari jadian kita yang ke-6 bulan." Tanganku mulai memegang tangan Vina di atas meja yang berisi minuman dan lilin cantik.

Vina tersenyum kecil, "Aku kira, kamu gak inget."

"Tentu saja, ingat dong. Oh ya, aku punya hadiah nih, buat kamu." Aku mengambil tas kecil yang ku taruh di paha, ku ambil sebuah benda spesial untuk kekasih hati, Vina.

"Apaan ini?" tanya Vina.

"Buka dong."

Vina meraba-raba benda berbentuk kotak kecil itu, dengan sampul berwarna merah. Perlahan ia membuka, dan betapa terkejutnya dia saat itu. "Ya ampun, inikan jam tangan yang aku suka, terima kasih ya sayang." Vina tersenyum, matanya berbinar-binar, lekas mencopot jam tangan lamanya, dan memakai jam tangan baru pemberianku.

"Kamu suka kan?"

"Suka sekali sayang. Sayang pengertian banget deh, romantis pula."

"Siapa dulu dong, Hanafi gitu loh."

"Iya, iya." Vina tersenyum, matanya memancarkan cinta yang begitu tulus dari dalam hatinya.

Tapi malam itu menjadi malam terakhir bagi kisah cinta kita. Mengapa? Karena beberapa hari kemudian, tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja dia memutuskanku melalui telepon. Aku tersedak, apa-apaan ini, seorang Hanafi, di putuskan melalui telepon begitu saja. Ini baru pertama kalinya dalam kamus hidupku, aku diputuskan oleh seorang cewek, biasanya aku sendiri yang memutuskan. Ada apa sih sebenarnya, sampai-sampai dia memutuskanku sembari menangis di dalam telepon? Aku harus cari tahu.

(03)

IKHLASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang