(26)Putus Asa - 2

754 40 0
                                    

|BAB - Putus Asa|

Satu tahun kemudian. Malam yang sangat cerah, kerlap-kerlip bintang bertumpah ruah menghiasi langit. Rembulan bulat bersinar cerah, hanya sedikit awan yang terhias di langit.

"Dimana Roni?" tanyaku.

Laode masih sibuk menatap kerlap-kerlip lampu kota, bersenandung lagu khas Sulawesi. Dia menghentikan nyanyiannya, "Ah, Kau ini mengangguku saja, aku tak tau kemana dia pergi, pasti ke minimarket itulah, kemana lagi coba?"

"Minimarket? Ngapain dia disana, Laode?" Aku bertanya untuk kedua kalinya.

"Biasalah. Menemui permaisuri hati. Santriwati. Sudah beberapa hari terakhir setiap habis tarawih, dia selalu datang kesana." Laode masih sibuk mengayun-ayunkan kedua kakinya, menatap kendaraan yang selintas lewat di depannya.

"Santriwati? Sejak kapan dia kenal santriwati disini? Kita kan tidak boleh bersua? Ada larangannya?" Aku masih penasaran, mencoba menggali informasi dari Laode yang akhir-akhir ini lebih akrab dengan Roni.

Laode menoleh, menatapku ganjil, "Kenapa kau ingin tahu? Apa urusannya?"

"Ya, aku cuma ingin tahu saja, Laode. Memangnya tidak boleh?"
Laode menarik kakinya, duduk menghadap ke arahku. "Tapi, jangan bilang kalau informasi ini datangnya dariku ya." Laode berbisik pelan. Aku mengangguk mantap.

"Sebenarnya, Roni datang ke Pesantren ini ada niatan tertentu."

"Niatan tertentu?" Aku melipat dahi, membetulkan tempat duduk. Menatap Laode takzim.

"Ya. Dia disuruh ayahnya dengan faktor perjodohan dibalik semua itu."

"Faktor perjodohan?" Aku semakin tidak mengerti.

Laode mengambil nafas pelan, "Yah, ayahnya yang kaya raya itu menjodohkan anaknya dengan anak dari kerabat ayahnya, tapi anak dari kerabat ayahnya meminta satu permintaan yang harus di penuhi Roni."

"Lalu?" Aku memotong, menopang dagu di tangan kanan.

"Roni jatuh cinta. Menyanggupi permintaan yang teramat sulit bagi dirinya. Jadi setahun terakhir ini, dia datang ke Pesantren ini hanya untuk memenuhi persyaratan itu, dia harus bisa menjadi Imam yang baik." Laode menghela nafas sejenak, membetulkan rambutnya yang keribo itu.

Aku menelan ludah, Roni segitunya, seperti apakah paras wanita yang membuat Roni tertarik dan jatuh hati padanya.

Aku lekas melompat, menarik sandal yang kutaruh dibawah papan warung. Laode berteriak, "Hei Hanafi, mau kemana kau? Aku belum selesai cerita!"

"Aku mau ke minimarket dulu!" Aku melambaikan tangan, menyeringai tipis. Laode menggaruk rambut keribonya.

Minimarket letaknya tidak jauh dari Pesantren, hanya berjarak seratus meter saja, dengan jalan kaki hanya memakan waktu paling tidak lima-sepuluh menit. Aku berjalan gugup, penasaran melihat Roni yang sedang bersua dengan calon istrinya--mungkin. Kebetulan minimarket letaknya ada disisi jalan, didepan ada warung yang sudah tutup, berseberangan jalan, aku memutuskan untuk memantaunya dari sana, karena gelap, aku rasa dia tidak akan tahu kalau aku ada disini.

Tapi, pemandangan itu berubah menjadi tidak menyenangkan. Bukan karena Roni sedang bertengkar, melainkan gadis itu, gadis itu ternyata si gadis berkerudung senja, Anisa Hayfa. Aku menelan ludah dalam-dalam, menatap lamat-lamat sosoknya yang anggun itu sedang bercakap seru dengan Roni di meja kecil, menikmati kopi seduh dan beberapa cemilan. Mereka tampak akrab dan sudah saling mengenal. Aku menghela nafas panjang, apalah arti semua ini, apa ini karma dari Tuhan, atau ini justru kejutan lain yang sudah di skenariokan Tuhan untukku.

Roni melempar senyum, Anisa juga, mereka sesekali tertawa. Roni berdiri, bergaya seperti Laode, persis, itu gaya Laode. Bahkan dia juga menirukan gaya Idris yang asyik menghisap rokok, dan juga menirukan gayaku, walau tidak seratus persen asli, tapi gadis itu teramat menyukai leluconnya. Aku mendengus kesal, memukul balok kayu yang ada di warung. Tanganku persis mengenai paku, berdarah, tapi rasa sakit itu tidak bisa disamakan dengan rasa sakit hati yang teramat sakit.

Kenapa harus seperti ini jalan hidupku, Ya Allah. Engkau sudah menunjukan jalan terbaik bagiku, Engkau juga sudah mengabulkan doa sepertiga malamku, yah, detik ini aku bisa bersua dengan gadis berkerudung senja itu, tapi apa? Dengan cara seperti ini? Cara yang menyakitkan? Cara yang... ah, aku tidak tahu, harus berbuat apa. Ternyata gadis berkerudung senja itu sudah menjadi santriwati di Pondok Pesantren ini selama kurang lebih tiga tahun terakhir, dan ah... kenapa aku tidak pernah tahu sebelumnya. Kenapa Nadia sepupuku tidak pernah bercerita sebelumnya, kalau dia juga teman satu kamarnya. Kenapa hidup penuh dengan lika-liku kejutan, dan kenapa aku harus masuk ke dalam lika-liku penuh menyakitkan itu.

Malam ini, bintang gemintang bertumpah ruah, rembulan bulat bersinar terang, deru angin sepoi-sepoi terdengar, cerah memang, tapi tidak secerah hatiku saat ini. Aku harus melupakan dia segera mungkin. Titik, tidak kurang, tidak lebih.

***

"Nadia!" Aku lekas menarik tangannya, selepas acara pengajian pasaran di bulan suci ramadhan. Di bulan suci ini sebenarnya para santri sudah bebas, kami diperbolehkan saling bersua. Nadia yang kebetulan sedang berjalan sendirian, membawa kitab suci Al-Qur'an, selepas mengikuti acara tadarusan di masjid, aku lekas menarik tangannya, menghentikan langkah kakinya.

"Ada Apa?" Nadia mendongak, karena tubuhku lebih tinggi darinya.

"Nadia, kamu kenal santriwati yang bernama Anisa?"

Nadia menatapku ganjil, mengangkat alisnya sebelah, "Anisa? Aduh, disini yang namanya Anisa ada tiga, Hanafi."

"Anisa Hayfa." Aku memastikan.

"Oh... Anisa Hayfa toh, yah, aku kenal. Dia kan asli orang Jakarta. Sama sepertimu Hanafi." Nadia memicingkan matanya, "Hayo, ada apa? Kamu naksir ya?"

Aku salah tingkah, tengak-tengok tidak jelas, "Oh, tidak. Cuma mau tanya saja. Sudah berapa lama di disini, Nad?"

"Tahun ketiga."

"Tiga tahun?"

"Ya." Nadia mengangguk mantap.

"Oke. Terima kasih, Nad." Aku lekas menarik langkah, bergegas pergi, tapi Nadia sepupuku berseru, "Kamu beneran gak suka sama dia?"

Aku terkejut mendengar kalimat Nadia, menghentikan langkah, menoleh ke belakang, lantas mengangguk ragu. Nadia terkekeh, wajahku berubah merah padam. Ah, apa-apaan ini, kenapa aku harus mengangguk. Semoga saja, Nadia tidak pernah bercerita.

Ah, kenapa aku baru tahu sekarang. Kalau Anisa satu kamar dengan Nadia sepupuku. Sudah terlambat. Roni sudah mendapatkan separuh hatinya, mungkin. Aku sendiri? Aku bukan siapa-siapa. Siapa aku? Bagaimana aku? Darimana aku? Aku hanyalah Hanafi, seorang manusia bodoh, berlumur dosa. Tidak berguna.

(NEXT)

IKHLASWhere stories live. Discover now