(16)Cinta Sejati - 2

1.1K 64 2
                                    

|BAB - Cinta Sejati|


"Hanafi, kau tahu tidak. Kalau aku boleh bercerita, kenapa aku sampai sekarang belum mencari pasangan pengganti lagi? Hidup menduda?"

Aku menatap mata Pak Jaya, seperti ada rahasia besar yang disimpan di balik bola matanya. "Boleh saja Pak, justru aku suka dengan cerita-cerita cinta yang nyata."

"Cinta sejati itu memang benar adanya. Aku sudah menemukannya, dan aku tak bisa mencari pengganti cinta sejati itu. Terlalu sulit dan mungkin setiap manusia hanya mendapat satu jatah saja di dunia ini. Satu cinta sejati. Dan jangan pernah sia-sia kan cinta sejati yang tulus itu, jagalah sampai maut memisahkan." Pak Jaya mengambil tisu, menyeka ujung matanya.

"Jadi begini, ceritanya." Pak Jaya mengambil napas panjang, sebelum bercerita panjang lebar. Masih ada waktu setengah jam lagi, sebelum sholat isya'.

"Dulu, ketika aku masih remaja se-usia kau. Aku sudah bekerja keras, banting tulang, mengais nafkah, demi mengobati Ibu yang sedang sakit keras di rumah. Aku merantau ke jakarta. Aku hanya lulusan SLTP. Dulu, ijazah SLTP masih bisa bersaing di dunia pekerjaan, bapak melamar sebagai cleaning service di salah satu rumah sakit ternama di ibu kota. Tiga hari selepas melamar, aku mendapat surat dari petugas pos. Jaman dulu tidak memakai hp, jadi kalaupun tidak mendapat surat dari perusahaan yang bersangkutan selama kurang lebih seminggu, ya alamat tidak lulus."

"Lalu?" Aku memotong.

"Aku mendapat surat berisikan panggilan interview. Aku menyambut hangat berita baik itu. Kebetulan, aku sedang bekerja sebagai kuli bangunan, ikut Paman. Aku meminta ijin tidak masuk selama sehari, alasan mendapat panggilan kerja di salah satu rumah sakit swasta. Paman mengijinkan, aku pamit. Bermodalkan alamat yang tertera di kop surat, aku melangkah pergi, naik oplet, tanya-tanya ke warga, sempat tersesat, dan pada akhirnya sampai juga di tempat tujuan, yah, walau agak telat sepuluh menit."

"Aku sudah berdiri di depan rumah sakit yang megah itu. Kalaupun di samakan dengan hotel, mungkin hotel bintang lima. Aku melapor ke satpam jaga, mereka mengijinkan, lantas menunjukkan jalan masuk ke tempat interview. Aku mengangguk, lekas berjalan masuk. Seingatku, ruangan itu ada di lantai dua—di sisi lift. Ruang tamu. Aku melangkah masuk, mengetuk pintu. Didalam sudah ada dua orang yang berpakaian sama sepertiku. Putih-hitam."

"Penyelia itu memberikanku puluhan pertanyaan yang membuatku sedikit gugup saat menjawab. Tapi dengan jawaban kepolosanku, aku diterima. Dua hari setelah itu, aku mulai aktif bekerja di rumah sakit, sebagai tukang bersih-bersih. Jaman dulu, tidak ada kontrak kerja. Jadi kami bekerja se-betah kami. Satu teman kerjaku mengundurkan diri, baru bekerja sehari. Katanya, dia gak kuat bekerja di rumah sakit, melihat darah bermuncratan, bertemu orang sekarat, dan kadang pula bertemu dengan keluarga yang sedang berduka." Pak Jaya mengambil napas sejenak, meneguk teh yang sudah dingin di atas meja.

"Kau tahu, Hanafi. Berapa tahun aku kerja disana sebagai kacung?" Aku menggeleng. "Tiga tahun lebih, dan di rentang waktu itu, aku bertemu dengan cinta sejatiku. Kau pasti tak akan percaya dengan kisah cintaku yang terbilang klasik dan khayal."

Pak Jaya kembali bercerita. "Di tahun kedua bekerja di rumah sakit. Aku menjadi karyawan senior, mungkin paling lawas. Aku dipindahkan ke bagian lantai tiga, tepatnya di ruang VVIP. Ruang khusus bagi orang-orang kaya. Dari situlah aku bertemu dengannya?" Pak Jaya tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.

"Hari itu, aku mulai bertanggung jawab di ruang VVIP. Malam itu, jam sepuluh, aku sedang mempersiapkan kamar untuk pasien baru. Dikarenakan kamar VVIP sudah penuh, tinggal satu kamar yang kosong, dan itupun baru ditinggal pergi sama pasien, eh, ada pasien baru lagi. Macam mana ini, kenapa orang sakit setiap menit selalu ada. Macam orang jatuh cinta, mungkin."

IKHLASWhere stories live. Discover now