(38)Amarah!

803 39 0
                                    

Kamar Edelweis nomor 07 masih ramai dengan canda tawa keluargaku dan keluarga Paman. Perasaan berubah begitu cepat, seperti langit malam ini. Tadi sore, aku takut Ibu kenapa-napa, tapi sekarang, kabar baiknya datang juga. Besok siang, Ibu sudah di izinkan untuk pulang.

Perasaan memang seperti cuaca. Kadang mendung berubah menjadi panas, kadang panas berubah menjadi mendung. Bahkan ada pepatah bilang, "Mendung tak berarti hujan." Ya, seberapa buruknya kalian berprasangka, belum tentu semua yang kalian lihat buruk itu menjadi buruk, mungkin malah menjadi lebih baik.

Bapak mulai bertanya soal kronologi kenapa Ibu sampai di rampok oleh sekelompok preman. Ibu menjelaskan satu-dua, Paman dan Nadia ikut memotong percakapan mereka. Aku masih duduk di kursi pojok dekat jendela, menatap kota dari lantai dua, melihat langit yang lambat laun semakin gelap, bulan dan bintang tak lagi terlihat.

Soal preman tadi. Aku masih belum terima karena telah melukai Ibuku. Pukulan harus di balas dengan pukulan, apapun resikonya, aku harus mencari mereka malam ini.

"Hanafi, kamu sudah sholat?" Nadia menghampiriku, membawa mukena.

"Belum, Nad." Aku menyeringai.

"Yuk, ke mushola."

Aku mengangguk takzim, lekas berdiri. Kami berdua pamit ke mushola.

"Eh, kamu sekarang benar-benar sudah berubah ya...." Nadia menoleh ke arahku, menyikut lenganku pelan.

"Berubah apanya, Nad."

"Ya, berubah menjadi orang baik." Nadia tertawa pelan.

Kami berjalan melewati lorong panjang nan luas. Menuruni tangga granit yang indah. Melewati lorong lagi, dan keluar ke belakang rumah sakit. Mushola Al-Fajar sudah terlihat, letaknya ada di depan kantin rumah sakit.

Kami ketinggalan sholat isya' berjamaah. Selepas sholat, aku kembali menatap langit malam ini melalui teras depan mushola, sambil menunggu Nadia yang sedang pesan makanan.

"Hanafi! Hei!" Nadia berseru, dia sudah duduk rapi di meja kantin.

"Melamun mulu! Kepikiran si Anisa ya?" Nadia menggodaku.

Aku tetap diam, menatap gelas berisi es teh dan mangkuk berisi bakso kuah.

"Hei, kok diam sih? Kamu ada masalah ya dengan Anisa?" Nadia menatapku curiga.

"Tidak. Tidak ada masalah." Aku menggeleng.

"Lantas, kenapa?"

"Karena ada satu alasan." Aku meraih sendok dan garpu, mulai melahap bakso.

"Alasan? Alasan apa?" Nadia selalu saja kepo, padahal jelas sekali dia sedang mengunyah bakso di mulutnya. Kalau bukan Nadia sepupuku, sudah ku lempar pakai saus.

"Dia sudah menjadi milik orang." Aku menjawab dengan suara datar.

Nadia tersedak, bergegas mengambil es teh, dan meneguknya. "Maksudmu?"

"Dia sebentar lagi menikah, Nad." Entah kenapa, aku tidak lagi berselera makan semenjak membahas soal Anisa, si gadis berkerudung senja yang selalu tampil menawan.

"Menikah?" Nadia tersedak untuk kedua kalinya, lekas mengeuk es teh yang tinggal setengah, "kamu gak bercanda kan? Dapat info dari mana kamu?"

"Dari Roni, teman SMA-ku dulu. Bahkan dia memberitahuku bareng sama Anisa."

"Roni? Orang yang kadang sering bertemu dengan Anisa di mini market dekat pesantren itukah?" Nadia menatapku prihatin.

"Ya, Nad. Aku tidak tahu harus berbuat apa."

IKHLASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang