(22)Pesantren - 1

976 45 0
                                    

|BAB - Pesantren|

Selepas menikmati sarapan pagi di hari lebaran nan masih membuatku tak percaya, kalau aku sekarang sudah di kelilingi oleh keluarga Paman yang begitu respect.

"Oh ya, Hanafi. Besok pagi, Paman dan Tante mau silaturahmi ke keluargamu. Kamu mau ikut pulang, kan?"

Aku diam membisu, ku pandang lamat-lamat meja kayu berwarna cokelat yang ada didepan. Paman kembali bertanya, "Hanafi. Besok, kamu ikut pulang kan?"

"Pah, sudahlah, jangan paksa Hanafi pulang, mungkin dia tidak ingin pulang. Lagipula, gak ada salahnya kan tinggal disini, buat nemenin Nadia." Nadia nyengir, memohon kepada ayahnya.

"Ya, baiklah, kalau kau mau tinggal disini, jaga Nadia ya."

Aku mendongak, menatap mata Paman, lantas mengangguk setuju. Nadia tersenyum. Nadia yang merupakan anak pertama paman, dia seumuran denganku, kini sudah menginjak bangku SMA kelas tiga dan adiknya yang masih berumur sebelas tahun, bernama Rafli, ikut tersenyum.

Malam harinya, Paman yang sedang asyik membaca buku novel best seller, sesekali menyeruput teh hangat yang sudah di sediakan oleh istrinya di atas meja. Aku lekas duduk di sebelahnya, mengambil napas panjang sebelum mulai mengajak Paman ngobrol. Tapi, Paman justru membuka obrolan lebih dulu.

"Sebenarnya, kau ini sedang apa di kota ini? Sampai kau di pukuli oleh warga disini, apa kau benar-benar hendak mencuri rumah Paman? Lantas kenapa kau tidak mau ikut Paman ke rumahmu?" Paman masih asyik menatap novel best seller.

Aku menelan ludah, bagaimana jadinya kalau ku jelaskan semuanya yang sebenar-benarnya, pasti Paman akan menolakku untuk tinggal disini.

"Sebenarnya, aku ingin nyantri Paman." Yah, itulah jawaban yang tiba-tiba keluar dari dalam tenggorokanku, entah kenapa harus kalimat itu yang keluar, tidak alasan lainnya.

"Nyantri?" Paman menutup novel, menaruhnya di meja, menatapku ganjil, lantas tertawa. "Apa Paman tidak salah dengar?"

"Eh, ya Paman. Benar, aku mau nyantri. Tapi pas baru sampai di kota ini, aku binggung mencari alamat pesantren tersebut, dan uangku habis di rampok oleh preman pasar. Karena tidak ada pegangan sepeserpun, terpaksa aku mencuri." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Menghembuskan napas panjang.

"Kenapa tidak bilang dari hari-hari yang lalu kalau kau mau nyantri, Hanafi. Paman kan punya kenalan di pondok pesantren daerah sini, kenapa kau tidak menelpon Paman saja, urusannya tidak panjang lebar sampai kau mencuri karena kehabisan uang, untung saja kau belum dibawa ke kantor polisi." Paman menepuk-nepuk bahuku, aku menunduk.

"Apa Yah? Hanafi mau nyantri?" Nadia tiba-tiba muncul dari belakang, ikut duduk menatapku. "Kamu beneran mau nyantri?"

Aku mengangguk ragu.

"Kok ragu-ragu gitu sih?"

"Ya, aku mau nyantri Nadia bawel!" Aku memasang wajah sebal. Nadia terkekeh melihat raut mukaku.

"Baguslah kalau begitu. Nanti, seminggu lagi, pondok pesantren tempat Nadia nyantri juga, akan membuka pendaftaraam umum. Dan kamu Nadia, nanti kamu temenin dia daftar ya, temenin dia ngurus perlengkapan." Paman terlihat bersemangat.

"Siap Yah!" Nadia memberi hormat kepada Ayahnya, ikut bersemangat.

"Ya sudah, ayah mau istirahat dulu. Nanti simpan novel ayah, taruh di rak buku biasa." Paman menyuruh Nadia. Nadia mengacungkan jempol.

Aku memutuskan untuk duduk di teras depan rumah Paman, memandangi bintang-bintang dan bulan purnama yang indah bersinar. Di tengah malam yang semakin dingin aku terus bertanya-tanya, kenapa aku harus menjawab 'nyantri', ah sangat bodoh. Urusan bisa makin rumit nih.

IKHLASWhere stories live. Discover now