(20)Rembang dan Kisah Kelam- 1

942 46 2
                                    

|BAB - Rembang dan Kisah Kelam|


Beberapa kota-kota di jawa barat dan jawa tengah sudah terlewati, jam sudah menunjuk ke angka lima pagi, bus baru sampai Kota Pekalongan. Jalanan disini cukup padat. Bagaimana tidak padat, jalanan kota dan jalan pantura di satukan. Jalan agak macet, tersendat. Lampu merah di mana-mana. Sinar mentari pagi perlahan menampakan cahayanya, menembus daun-daun jendela. Aku masih terjaga, menatap lamat-lamat jalan raya yang ramai dan sesak di pagi buta.

Selepas pekalongan, perjalanan sedikit lebih cepat. Melewati beberapa kota besar, macam Kota Semarang, Demak, dan pada akhirnya kami berhenti di terminal bus Kota Rembang. Pak tua dan anaknya sudah bersiap turun membawa beberapa perlengkapan, aku juga sudah menggendong tas di punggung, ikut turun. Bus kembali melesat, melanjutkan tempat tujuan terakhirnya.

Siang itu, matahari tepat di atas kepala. Teriknya begitu menghujam, Pak Tua dan anaknya berteduh di depan kios sembari menunggu jemputan datang. Aku sendiri ikut berteduh di sebelah mereka.

"Hey, anak muda. Memangnya kau sudah tahu tempat tujuanmu?" tanya Pak Tua.

"Sebenarnya..." Aku tak meyelesaikan kalimatku.

"Kau pasti tidak tahu arah kan?" Pak Tua menyeka dahi yang berkeringat.

"Ya, Pak." Aku menunduk, sedikit putus asa, lagipula uang di dompet sudah tipis, hanya cukup untuk makan sehari saja.

"Lalu? Kau mau mencari tempat tujuanmu sampai ketemu?"

"Ya, Pak. Sudah ku pikirkan matang-matang untuk datang ke tempat ini."

"Ya sudah, semoga berhasil ya. Kalau butuh apa-apa, bisa hubungi Bapak. Ini alamat rumah Bapak." Pak Tua itu memberikan secarik kertas berisikan alamat rumahnya.

Mobil jemputan sudah datang, Pak Tua dan anak perempuannya itu pamit. Aku melambaikan tangan, terima kasih sudah mengajariku dan mentraktir makan selama di perjalanan, Pak.

Siang itu masih sangat panas, aku duduk melamun di depan kios. Bingung harus dari mana aku memulai, lagipula ini merupakan pengalaman pertamaku datang ke Kota Rembang. Rumah Paman saja aku belum pernah lihat, dan alamatpun belum jelas, kenapa aku nekat sampai ke sini. Aku menyeka peluh di dahi, kembali berpikir positif.

Sore telah menyerang Kota Rembang. Matahari kian tenggelam di kaki bumi bagian barat. Aku masih terdiam di salah satu masjid besar di dekat kota. Duduk melamun, bingung harus bagaimana. Beberapa jama'ah buka bersama di masjid sudah berdatangan, mereka tampak rapi mengenakan baju koko, peci hitam, sarung kotak-kotak dan wangi-wangian. Aku memilih untuk segera pergi dari sana.

Aku sudah meneguhkan hati sejak di usir dari rumah, untuk hijrah ke rumah Paman. Tapi, sialnya, aku tak tahu persis di mana rumah Paman. Yang aku tahu hanya namanya saja, yakni 'Samsudin'.

Dengan modal nekat, aku memberanikan diri melangkah, menyusuri setiap jengkal kota ini. Bertanya-tanya kepada seseorang, tentang nama 'Samsudin' , ku harap dari ratusan orang di kota ini, setidaknya ada yang tahu.

Percobaan pertama, bertanya kepada penjual kopi di trotoar jalan. Seingatku, sewaktu Paman bersilaturahmi ke rumahku, dia sangat menyukai minuman kopi, terutama kopi di trotoar-trotoar jalan, selepas pulang kerja. Satu-dua pedagang, tidak ada yang mengenalnya. Aku tidak menyerah begitu saja, di sudut sana, masih ada pedagang kopi. Tapi lagi-lagi mereka tidak tahu tentang nama 'Samsudin' seorang berperawakan tinggi, tegap dan berkumis tebal. Aku menelan ludah.

Suara adzan maghrib sudah berkumandang, waktunya untuk berbuka puasa. Dengan uang tiga puluh ribu, aku memutuskan untuk beli nasi bungkus di warung kecil. Lumayan, harganya masih terjangkau murah. Delapan ribu, sudah dapat nasi, oseng-oseng, dan telur. Sementara dua ribu untuk beli teh hangat. Sungguh nikmat buka puasa hari ini.

Selesai berbuka, aku kembali melanjutkan pencarian rumah Paman lagi. Walau ini terlihat aneh dan konyol, tapi aku masih percaya, kalau kita bersungguh-sungguh, Insya Allah akan diberikan jalan kemudahan.

Percobaan pertama gagal, giliran percobaan kedua. Dulu paman sempat bercerita kalau beliau suka menikmati makan malam keluarga di salah satu rumah makan favorit di dekat alun-alun kota. Alun-alun Kota Rembang  juga berada di jalur utama pantura sehingga bagi orang yang melalui jalur pantura menuju Semarang - Surabaya maka alun-alun ini dapat dilihat dengan mudah.

Kondisi eksisting alun-alun saat ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang berfungsi baik. Pada sisi barat terdapat Masjid Agung Rembang, minimarket, dan komplek pertokoan. Pada sisi timur terdapat rumah-rumah penduduk. Pada sisi lainnya berhadapan dengan sekolah dan jalan pantura.

Aku masih merangsek di keramaian orang yang berlalu-lalang disana, mencari rumah makan yang dimaksud oleh Paman. Berputar, tapi tak kutemui pula. Aku mulai mengeluh. Lantas ke percobaan ketiga, yakni ke salah satu pondok pesantren. Aku menelan ludah, tidak mungkin aku melakukan percobaan ketiga ini. Lagipula, untuk masuk ke dalam pesantren, tidak semudah yang di bayangkan. Aku pun mengurungkan niat, memutuskan untuk mencari tempat istirahat sementara. Masjid, menjadi tujuanku.

***

Keesokan harinya. Aku sudah bangun sejak jam tiga pagi. Melangsungkan sahur, persediaan uangku semakin menipis. Apalagi harga makanan jam malam hari sangat mahal, kini tinggal lima ribu rupiah di dalam dompet. Aku mulai pasrah akan keadaan. Mana mungkin, uang lima ribu bisa untuk mendapatkan nasi dan air putih. Aku mulai berpikir keras. Hidup ini tak semudah membalikan telapak tangan. Itu benar, dan aku sudah membuktikannya.


Matahari siang itu sangat menggoda kerongkongan untuk segera meneguk segelas air putih. Aku tak peduli, mau haus atau lapar, aku harus mencari setidaknya uang tambahan untuk buka puasa nanti sore. Tujuan utamaku yakni ke pasar. Mencari pekerjaan serabutan di pasar. Tapi lagi-lagi tidak semudah apa yang ku bayangkan, dengan ijazah SMP-ku ini, aku masih belum memenuhi syarat. Aku benar-benar sudah pasrah, menyerah, tak berdaya. Hidup ini semakin tidak adil.

Suara adzan maghrib berkumandang, dengan uang sisa lima ribu, terpaksa untuk beli roti dan segelas air putih. Nikmat berbuka sore itu. Selepas berbuka, otakku kembali di hadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Uang adalah segala-galanya, dan segala-galanya membutuhkan uang. Begitulah sejatinya hidup di dunia fana ini.

Jalan sesat sepertinya sudah menghantui pikiranku. Aku duduk termenung di balai bambu dekat kompleks perumahan. Bujuk rayu syaiton sudah menggoda imanku.

Melihat beberapa warga berbondong-bondong untuk menunaikan ibadah sholat isya' dan tarawih. Aku lekas menyusun rencana. Rencana gila yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Yakni mencuri.

Aku melompat dari balai bambu. Bergegas mencari rumah yang kosong. Biasanya penduduk akan meninggalkan rumahnya, untuk melangsungkan sholat tarawih. Rumah nomor 06 terlihat sepi, bahkan jauh dari jangkauan satpam perumahan yang sedang berjaga. Aku lekas melompat pagar, satu hal yang membuatku mantap, rumah ini sepertinya tidak ada anjing galak dan kamera CCTV.

Ternyata mencuri tidak semudah seperti apa yang di lihat di film-film. Aku berusaha mencongkel jendela, sangat susah, membutuhkan waktu hampir sepuluh sampai lima belas menit. Setelah jendela berhasil dibuka, aku langsung masuk ke dalam. Tanpa basa-basi, sebuah ruangan tengah yang terlihat mewah dan sepi. Aku harus cekatan, masuk ke dalam kamar, mengambil beberapa perhiasan dan uang.

Hari pertama berhasil, tidak ada yang mencurigai tindakanku. Aku bisa bernapas lega, dapat menikmati makan setidaknya sampai beberapa hari. Beberapa hari berlalu, aku beraksi lagi. Kali ini hasilnya lebih menguntungkan, aku pun mulai menyewa kos-an di daerah setempat. Tidak bekerja, cuma bermodal nekat mencuri, dengan mudah aku mendapatkan uang.

(Next)

IKHLASWhere stories live. Discover now