Veintiuno

438 32 20
                                    

Ray duduk sendirian, merenung seorang diri dengan ditemani lagu kafe yang begitu cocok dengan suasana hatinya akhir-akhir ini. Frustrasi, galau, dan marah. Diantara ketiga perasaan itu, rasa marah lah yang paling mendominasi dirinya. Marah dan kesal karena sekelompok orang yang ia sebut teman.

Ray meneguk hot choco nya yang memang tinggal sedikit itu dengan sekali teguk. Gayanya belagak seperti sedang minum vodka atau minuman keras lainnya yang entah apa namanya. Ray bukan penyuka hot choco sebenarnya, tetapi karena marah ia meminum itu seperti seseorang yang begitu addict.

Sudah ada empat gelas kosong hot choco di depannya dan itu semua masih belum cukup. Salahkan post-an instagram yang tidak sengaja ia baca, karena katanya coklat adalah obat manjur untuk meredakan amarah. Dan sekarang Ray berusaha meredakan kemarahan dan kekesalannya.

"Mbak!" panggilnya seperti orang mabuk kepada salah satu pelayan kafe yang setia berdiri di sudut kafe menunggu pelanggannya memanggil. Sudah kelima kalinya si mbak kafe datang ke meja Ray dan ia hanya bisa tersenyum ramah menanggapi pelanggannya yang terlihat seperti penggila hot choco itu.

"Ya mas?"

"Saya mau pesan hot choco."

Lagi?

"Kok diem aja mbak? Ini saya mesan!"

Mbak pelayan kafe tergagap. "I-iya mas. Satu gelas lagi hot choco. Ada tambahan lagi mas? Kayak makanan atau snack ringan?"

Ray tidak berkata-kata dan hanya menatap mbak kafe dengan tatapan tajam. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, mbak tersebut pergi begitu saja dengan ekspresi takut-takut.

Setelah pelayan kafe tadi pergi, Ray kembali menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Ray akui menyendiri seperti ini tanpa teman-temannya sedikit melegakan. Ya walaupun sebenarnya Ray hanya pindah ke kafe sebelah yang notabenenya berada di dalam mall yang sama.

Ia menghembuskan napas kasar, memejamkan matanya, kemudian kembali membukanya. Untuk beberapa kali ia melakukan hal yang sama sampai matanya menangkap sosok seseorang. Seketika matanya membesar dan cepat-cepat ia menegakkan tubuhnya.

Pandangannya mengikuti langkah sosok itu yang berjalan entah kemana. Sampai sosok itu menghilang dari pandangannya. Ray berdiri, meletakkan uang sebanyak empat puluh ribu, lalu pergi berlari mengejar sosok itu.

"Ini mas pesanannya..." Kosong. Si mbak kafe tidak menemukan Ray lagi ditempatnya. Matanya mencari ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan malah uang empat puluh ribu di atas meja dengan empat buah gelas lainnya. Si Mbak kafe mengambil uang tersebut dengan kesal, lalu menggerutu lewat gumamannya.

"Udah mesen banyak-banyak, uangnya kurang lagi. Sialan tuh orang," kata si Mbak tersebut dengan mulut komat kamit.

***

Kimo berjalan mengikuti seseorang yang sama sekali tidak ia kenal. ia begitu penasaran karena orang tersebut bersama temannya-tentu saja-berbicara tentang Radit yang berada di rumah sakit. Tidak semua percakapan kedua laki-laki itu tertangkap oleh telinga Kimo, tapi yang pasti kedua laki-laki itu juga tidak menginginkan Radit untuk kembali sadar.

Radit ga boleh sadar sampai kita selesai ngerjain misi itu. laki-laki di sebelahnya mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan temannya, si laki-laki dengan rambut bak orang korea dengan warna ungu yang mencolok. Si rambut ungu kembali berbicara, "Lo bayangin bro, dengan gaada nya Radit kita bakal dapet banyak keuntungan. Pembagian jadi lebih banyak buat lo, gue, dan anak-anak."

Kedua laki-laki itu berhenti di sebuah bar minuman ringan. Mereka memesan minuman di sana sambil berdiri. Dengan begitu, ini adalah kesempatan untuk Kimo. Cepat-cepat perempuan itu duduk dan berlagak sedang bermain hp di dekat kedua laki-laki itu.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang