Treinta y seis

284 23 9
                                    

Termenung adalah satu kata yang sedang dilakukan Kimo sejak selesai mandi sampai kini ia sudah berada di sebuah kafe kecil yang ada di pinggir jalan kota. Isinya dipenuhi oleh remaja yang seumuran dengannya. Dan sekarang yang dilakukan oleh perempuan dingin anti sosial itu di kafe terkenal itu adalah belajar kelompok bersama Rafael dan teman-teman sekelompoknya yang lain.

Kelompok itu terdiri dari empat orang yaitu dua laki-laki dan dua perempuan. Rafael dan Kimo bertugas sebagai tim pembuat makalah, sedangkan dua lagi menjadi tim pembuat power point. Kimo dan Rafael sudah menyelesaikan tugasnya dan sekarang tinggal menunggu dua anggota kelompoknya lagi untuk menyelesaikan bahan presentasi itu.

"Kim lo mau tambah sesuatu? Gue liat milkshake lo udah habis."

Kimo menoleh ke arah Rafael, lalu menggeleng. Ia tidak mau. Ia juga tidak mood karena ia sendiri kesal dengan pikirannya yang masih saja dipenuhi oleh laki-laki yang sama sejak ia pulang sekolah siang tadi.

"Lo tau gak kalau brownies di sini enak banget?" kata Rafael.

Kimo yang masih saja termenung seraya menatap pemandangan dari balik jendela kafe hanya diam. Ia bertopang dagu dengan tangan kanan, tetapi kemudian berganti ke tangan kiri. Ia menghela napas kasar.

"Kim?" panggil Rafael.

Kimo tidak menjawab.

Rafael berpikir mungkin Kimo tidak ingin diganggu. Laki-laki itupun memilih untuk tidak lagi mengajak perempuan dingin itu berbicara. Toh mau seberapa banyak apapun Rafael berbicara, Kimo juga tidak akan menanggapinya. Ditanggapi pun jawabannya pasti singkat-singkat.

"Ini udah selesai. Coba cek dulu deh."

Rafael mengambil laptop yang dipegang oleh salah satu anggota kelompoknya yang bernama Sari. Rafael menelitinya dengan serius, lalu tersenyum kepada Sari. "Ini udah bagus. Sekarang kita bisa pulang."

Sari dan laki-laki di sebelahnya mengangguk. Mereka semua langsung siap-siap untuk pulang mengingat sekarang sudah pukul sepuluh malam. Sari dan laki-laki di sebelahnya berpamitan duluan karena katanya rumahnya terletak jauh jadi tidak bisa berlama-lama. Rafael pun juga sudah siap, tetapi ia belum pulang karena perempuan di sebelahnya masih saja betah menatap pemandangan jalanan dari balik jendela.

"Kim, lo ga pulang?"

Kimo menoleh. "Udah siap ya?"

Rafael hanya mengangguk pelan sekaligus bingung dengan sikap Kimo yang baru pertama kali ia lihat. Ia tidak pernah melihat Kimo sampai termenung kusyuk seperti malam ini. Rafael terbiasa melihat Kimo yang selalu memiliki perkerjaan sekalipun pekerjaan itu hanya tertidur seperti di kelas saat istirahat.

"Lo gapapa?"

"Gapapa gimana?"

"Lo aneh aja."

Kimo menaikkan sebelah alisnya. Diam-diam juga menyetujui apa yang dikatakan oleh Rafael karena iapun juga merasa demikian. Alhasil Kimo hanya mengangkat bahunya acuh.

"Lo gak pulang? Udah larut ni."

Kimo mengangkat tangannya, melirik ke arah jam tangannya. Benar, sekarang sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit. Sudah lima belas menit terhitung dari Sari dan laki-laki satunya meninggalkan kafe.

"Lo mau pulang?"

Rafael mengangguk pelan.

"Lo boleh duluan. Gue masih mau di sini."

Rafael mengerutkan keningnya. "Ngapain?:

"Ya ga ngapain-ngapain."

Rafael yang tadinya sudah berdiri, kembali duduk di kursi. Kali ini ia duduk di hadapan Kimo.

"Ada sesuatu ya yang ganggu pikiran lo?" tanya Rafael yang sangat tepat.

Kimo terdiam. Ia merubah posisinya dengan canggung ketika ditanya oleh Rafael seperti itu. Tiba-tiba ia merasa gatal di hidungnya entah karena apa.

Kimo berdeham, "Gaada."

Ada! Laki-laki bodoh itu ganggu pikiran gue dengan senyumannya.

Kimo berdeham lagi ketika kalimat yang ia ucapkan di hatinya terucap begitu saja. Seketika ia merasa malu dengan dirinya sendiri.

"Gue..."

"Ya?"

Kimo tampak berpikir, tak urung membuat Rafael penasaran.

"Lo mau ngomong sesuatu?" tanya Rafael.

"Gue mau bertanya."

Rafael mengangguk tanda ia memperbolehkan perempuan di depannya bertanya.

Kimo berdeham lagi. Sudah tiga kali ia berdeham dengan canggung padahal tenggorokannya normal dan tidak kering sama sekali.

"Gue punya temen, dia nanya ke gue kalau dia bingung sama diri dia sendiri karena pikirannya penuh sama laki-laki yang dia anggap bodoh banget. Menurut lo kenapa?" tanya Kimo. Jantungnya berdetak cepat lagi ketika bertanya. Sekarang barulah terasa kalau tenggorokannya kering.

Rafael diam menatap Kimo lurus.

Reaksi Rafael membuat dirinya sendiri menjadi gugup. Lama sekali Rafael menatapnya dan tidak ada jawabannya yang keluar dari mulut laki-laki itu. Kimo merasa cemas entah kenapa.

Untuk keempat kalinya, Kimo kembali berdeham. "Lo juga ga tau ya? Lupain aja."

Tiba-tiba Rafael tertawa. Laki-laki itu kemudian berkata, "Temen lo itu sedang jatuh cinta."

What?

"Maksud lo?" Seketika kepintaran Kimo menghilang. Ia tidak mengerti sama sekali dengan jawaban yang diberikan oleh Rafael.

Rafael terkekeh, "Lo kalau soal cinta ternyata bobrok juga."

Excuse me?

"Temen lo itu jatuh cinta sama si laki-laki bodoh itu. Makanya isi pikirannya cuma si laki-laki itu. Itu aja lo ga tau, lo ga pernah suka sama orang ya Kim?"

Pernah tapi sudah dipatahkan.

"Bukan urusan lo."

Rafael mencibir, menelan saja apa yang dikatakan oleh Kimo.

"Ngomong-ngomong soal temen lo itu, gue jadi ingat kasus percintaan yang baru-baru ini kejadian di geng gue," kata Rafael dengan antusias.

Kimo menaikkan sebelah alisnya. Tidak dapat dipungkiri, ia pun penasaran dengan kasus yang akan diceritakan oleh Rafael.

"Jadi gue punya temen namanya Sena, Sena itu pinter nge-hack. Jadi ada anak cowok sekolahnya minta tolong ke temen gue ini buat nyari mantannya. Astaga, gue ga nyangka ya masih ada cowok yang seterobsesi gitu ke mantan." Rafael tertawa ketika mengingat cerita Sena tentang si cowok itu.

Bukannya fokus pada cerita, Kimo jadi lebih terfokus ke teman Rafael yang bernama Sena itu. Menarik, pikir Kimo.

"Sena itu bisa nyari orang?"

"Kurang lebih."

Kimo tersenyum miring. "Raf, lo ingatkan kalau lo udah janji bakal bantuin gue?"

Rafael mengangguk ragu, membuat senyum Kimo semakin melebar.

"Gue mau ketemu Sena itu."

Rafael mengerutkan keningnya bingung. "Buat apa? Jangan naksir dia, Sena udah punya cewek."

Kimo memutar bola matanya malas. "Bukan Karena itu bodoh."

"Ikhlas banget dah nyebut bodohnya."

"Jadi gimana?"

Rafael tampak berpikir, ia menatap wajah Kimo yang terlihat menunggu jawabannya dengan tenang. Tak lama Rafael menghela napas. Tidak ada alasan bagi Rafael untuk menolak permintaan Kimo.

"Oke, gue bantu lo ketemu Sena."

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang