Cincuenta y cuatro

118 8 2
                                    

"Lo sudah baikan Kim?" tanya Sena ketika melihat Kimo sudah turun dari lantai atas dimana tadi Sena menggendong Kimo ke kamar atas untuk dibiarkan istirahat. Tidak lupa ia dibantu oleh Farel, Rafael, dan Adang.

"Gue gapapa," jawab Kimo sendu.

Sena mengangguk, ia hendak pergi kembali ke ruangannya setelah ia mengambil jus kesukaannya dari dalam kulkas. Kimo melihat itu langsung menghentikan Sena dengan memanggil namanya.

"Makasih dan... jangan kasih tau soal kejadian tadi ke siapa-siapa. Cukup lo, Farel, Rafael, dan Adang saja yang tahu."

Sena tersenyum kecil. "Lo tenang saja, kita teman sekarang," katanya menenangkan, lalu benar-benar pergi menuju ruangannya. Kimo tersenyum kecil ketika kembali mendengar kata teman tersebut  setelah keluar terakhir kali oleh mulut Zea.

Keadaan di rumah Sena itu masih sama seperti sebelum ia pingsan, sepi dan isinya masih orang-orang yang sama. Kimo dapat mendengar suara selain Sena yang tak lain adalah milik Rafael, Farel, dan Adang. Hanya saja ia tidak tahu dimana ketiga laki-laki itu.

Kimo memilih untuk berjalan-jalan mengelilingi rumah Sena untuk sekedar menghilangkan rasa bosan. Kimo adalah tipikal anak yang mudah mengingat, jujur saja ketika melihat Sena, ia seperti pernah melihat laki-laki itu sebelumnya, tapi entah dimana.

Tak lama langkahnya terhenti di depan foto besar yang memajangkan foto Sena dan keluarganya. Sepertinya foto baru-baru diambil karena di sana Sena terlihat sama saja dengan Sena yang sekarang. Ternyata Sena adalah anak tunggal. Bisa dibayangkan akan sekaya apa Sena nanti bukan?

"Gue sebenarnya punya kakak, tapi dia meninggal karena DBD waktu umur 4 tahun," kata Sena menghampiri Kimo yang sedang menatap foto keluarganya.

Kimo mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Menurut lo apa yang harus gue lakukan ke Vino supaya dia ga ganggu temen gue lagi?"

"Siapa? Zea? Masalah foto itu?"

Kimo mengangguk.

"Biar gue bantu. Kerja lo cuma harus mastiin foto dia itu bentuk kertas atau nggak."

Kimo tersenyum miring.

***

Saat istirahat, Kimo berjalan di koridor dengan wajah yang begitu datar. Semua orang tampak memberi jalan begitu saja kepada Kimo karena ketakutan dan sama sekali tidak berniat untuk berhadapan dengan perempuan itu. Ada yang berani menatap Kimo terang-terangan, tapi ketika giliran Kimo membalas tatapan mereka, mereka langsung menunduk dan mengalihkan pandangannya.

Dalam hati, Kimo terus mengejek semua orang yang tiba-tiba berubah ketakutan dengannya. Rasanya menyenangkan sekali, kalau begini akibatnya kan tidak ada lagi orang yang mau mencari gara-gara dengannya. Sepertinya Kimo memang harus berterimakasih kepada perempuan ular itu karena ia sudah membuat satu sekolah ketakutan kepadanya.

Kimo menghentikan langkahnya saat ia sudah berdiri di depan kelas seseorang. Saat Kimo masuk, kelas itu langsung berubah hening dan buru-buru mengalihkan perhatian dari Kimo. termasuk yang laki-laki sekalipun, mereka memilih keluar kelas dengan tenang tanpa mau ikut-ikutan drama yang dibuat oleh anak perempuan di kelasnya.

"Zia, lo ikut gue sekarang," perintah Kimo datar.

Jantung Zia rasanya ingin keluar ketika kembali berurusan dengan Kimo. Demi apapun ia tidak mau berurusan lagi dengan perempuan psikopat itu, pikirnya.

"Mau lo apa lagi?" tanya Zia, masih berusaha untuk terlihat berani.

"Tanyain ke Zea tentang bentuk foto telanjang lo yang dipegang sama cowo sialan lo itu. Tanyain apa itu dia cetak atau justru dia simpan di dalam file."

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang