Cuarenta y cinco

162 6 2
                                    

Kimo datang lagi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan Radit. Ia datang dengan supirnya yang setia menemaninya. Pak Joko, supir sekaligus yang sudah menjadi ajudannya sejak ia masih kecil.

"Apa yang Mbak Kimo rencanakan kali ini kalau Bapak boleh tahu?" tanya bapak Joko kepada Kimo.

"Untuk kali ini untuk sesuatu yang baik pak," jawab Kimo pelan.

Bapak Joko tersenyum kecil, ia menoleh ke arah Kimo yang seperti biasa jika datang ke sini hanya akan melihat Radit dari balik jendela ICU dengan ekspresi yang sangat datar.

"Jawaban Mbak Kimo masih saja selalu sama."

"Karena memang untuk sesuatu yang baik saya melakukan semua ini selama ini pak."

"Caranya salah, Mbak."

"Cara terbaik yang saya tahu sejauh ini pak."

Pak joko, supirnya itu menghela napas lagi. Kimo adalah perempuan yang sangat keras kepala, persis sekali seperti ayahnya. Pak Joko tidak bisa berbuat apa-apa untuk semua yang dilakukan oleh Kimo, karena menurut Pak Joko semua itu bukanlah haknya untuk ikut campur.

"Saya akan menunggu di mobil Mbak."

Kimo mengangguk dan membiarkan Pak Joko pergi.

Kimo lelah menunggu Radit kembali sadar. Mungkin pada awalnya Kimo tidak terlalu peduli dengan keadaan Radit, tetapi sekarang ceritanya sudah berubah. Permainan yang ia jadikan pembalasan akan apa yang dilakukan oleh laki-laki itu kini berubah menjadi rumit karena ternyata permainannya sudah melibatkan banyak orang.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah ia akan tetap mencoba masuk ke dalam liang masalah itu semakin dalam atau hanya fokus dengan kisah membalas Radit? Kalau memang Kimo hanya akan fokus dengan Radit, bukankah artinya pekerjaannya sudah selesai? Untuk apa lagi ia memeriksa keadaan Radit rutin seperti ini?

Kimo menggelengkan kepalanya saat ia menyadari kalau ia sudah tidak memiliki tujuan lagi untuk berada di tempat ini. Kimo pun berbalik dan hendak pergi meninggalkan rumah sakit.

Kimo melangkahkan kakinya menjauh. Seharusnya Kimo berjalan lurus saja ketika berada di perempatan lorong, tetapi yang dilakukan oleh perempuan itu malah berbelok kiri dan langsung menyandarkan tubuh ke dinding seolah ia sedang bersembunyi dari sesuatu. Perempatan itu hanya lima langkah jauhnya dari ruang icu. Alasan Kimo seperti ini adalah karena ia mendengar suara Faras. Bersyukur sekali karena hari ini ia memakai hoodie sampai menutup kepalanya.

"Radit masih belum sadar seperti biasa. Dia koma lagi," kata seseorang yang menurut Kimo adalah suara Faras.

"Bagus lah."

Kimo mengernyitkan keningnya ketika mendegar suara yang menanggapi pernyataan Faras. Siapa itu? Kenapa Kimo merasa sangat mengenal suara berat itu?

"Lo segitu takutnya Radit bangun?" Faras tertawa, menertawakan laki-laki lawan bicaranya.

"Lo terlalu santai, Bro. Perlu gue ingatkan, lo juga melakukannya bersama gue."

Kimo sangat penasaran, ia pun mengintip sedikit untuk melihat siapa lawan biacara Faras. Mata Kimo membulat ketika melihat Vino di sana. Cepat-cepat ia kembali ke posisi awal agar tidak ketahuan oleh dua laki-laki itu.

"Melakukan apa?" tanya Faras dengan enteng.

"Perjudian itu!"

"Lo terlalu tegang, Vin. Jangan seperti itu."

Vino menghembuskan napas dengan kasar. Ia tidak suka kenyataan bahwa ia telah mengkhianati temannya sendiri dan bahkan membuat laki-laki itu dalam bahaya. Disamping dengan Radit yang seperti orang gila itu, Radit selalu menjadi orang paling loyal ketika temannya membutuhkan pertolongan. Tetapi beda lagi ceritanya jika dalam urusan pembagian uang ketika telah melakukan misi. Bukankah semua itu impas?

Sweet but PsychoDove le storie prendono vita. Scoprilo ora