Part 5

53.1K 3K 27
                                    

Revisi : 22 april 2017

Disinilah kami. Di ruang tamu rumahku yang sederhana.

Duduk berhadap-hadapan, tepatnya aku dan Laila duduk di sofa panjang dengan meja menjadi perantara antara kami dan dia yang duduk di sofa depan kami.

Farhan tampak tenang, sesekali menengok kanan kiri mengamati rumahku. Apa ia sedang menilainya?

Aku sendiri sedari tadi sudah tak nyaman. Aku jarang berinteraksi dengan lelaki selain bapak. Kecuali jika pembicaraan itu penting. Tapi apakah yang akan dibicarakan lelaki ini penting?

Sejak pulang tadi di atas angkot aku sudah gelisah, yah kami ke rumahku secara terpisah tepatnya ia kemari dengan mobilnya dan aku pulang bersama Laila.

"Emm silahkan diminum tehnya." aku berusaha memecahkan ketegangan diantara kami bertiga tapi eh apa cuma aku yang tegang? Lelaki itu terlihat santai dan wajah Laila terlihat adem ayem saja bahkan ia seperti menahan tawa melihatku terkadang menaik turunkan satu alisnya menggoda.

Siapapun katakan sahabat siapa ini? Laila menyebalkan.

Lelaki itu mengambil cangkir teh di depannya dan mulai menyeruput cairan merah kecokelatan itu sedikit dan menaruhnya kembali.

Jari-jariku saling meremas di pangkuanku.

"Ekhem." Laila berdehem, aku menatapnya raut wajahnya sudah terlihat bosan menunggu adanya obrolan.

"Anda mau bicara apa?" Tanya ku pelan, jantungku berdegup tak karuan. Efek yang kudapatkan bila bersamanya.

"Maafkan aku jika ini keterlaluan, Annisa." terlihat dahinya mengkerut seperti memikirkan kata kata yang akan ia keluarkan selanjutnya.

"Ya?" Aku penasaran. Sungguh.

"Bisa kita bicarakan setelah ibumu juga ada disini?" Itu permintaan.

Aku mengangguk, "Baiklah"

Pertanyaan bergemuruh di otakku. Mau apa dia berbicara pada saat ibu juga ada disini? Begitu pentingkah?

"Disini cuma adanya pisang goreng doang, dimakan yah" Ibu datang dan menaruh nampan berisi sepiring pisang goreng yang tampak baru saja diangkat dari penggorengan.

"Gak papa kog, Laila suka. makasih bukde." Laila berseru senang, matanya berbinar menatap sepiring pisang goreng itu. Laila langsung mencomot satu buah pisang goreng dan memotongnya kecil sesekali bergumam 'enak dan 'panas'.

Ibuku hanya tersenyum senang menanggapi sifat Laila yang berlebihan.

"Ibu, duduk disini." Aku menahan ibu yang akan kembali ke dapur, wajah ibu terlihat bingung tapi kemudian ia menurut juga atas permintaanku.

Farhan berdehem. Tangannya memutar-mutar pelan cangkir tehnya di meja. Entah kenapa ruangan ini terasa penuh dengan aura berkuasa yang dimilikinya.

"Maaf jika saya lancang." ia menatap aku dan ibu bergantian. Tatapan matanya seolah menyimpan banyak misteri. Dan aku tak tau mengapa jantungku berdegup kencang seperti ini.

"Saya ingin melamar Annisa Humaira."

Allahu akbar!!!! Jantungku terasa copot.

"Uhuk uhuk... panas, aku mau minum" Laila tersedak dengan cepat kuberikan dia teh yang sudah mulai mendingin di cangkirnya, ia minum dengan buru-buru.

"Pelan-pelan Laila" aku menasehatinya.

Ibu masih melongo, Laila ikut pula melongo.

Astagfirullah, ada apa ini? Dia melamarku? Tubuhku terasa lemas seketika.

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang