Part 25

43K 2.3K 6
                                    

Kau bak mentari penghangat dan penerang
Kau sang rembulan pemberi ketenangan dan rasa aman
Kau cerminan rasa nyaman di air yang tenang
Kau lambang rasa hangat, pembeni ketenangan dan kenyamanan
Kau seberarti itu bagiku

Lantas mengapa? Mengapa kau pupus harapan di hatimu?
Mengapa lenyap mimpimu bersamaku?

Kau terlalu banyak untukku
Sampai bernapas sulit tanpamu
Lantas kenapa, Sayang? Mengapa kau kira lenyap cintaku? Pupus tak tersisa untukmu

Berjalanlah, Kasih
Temukan mimpimu
Kelak aku pun raih mimpiku
Mimpi yang telah kutata rapi dalam hatiku
Karena kau adalah mimpiku
Yang kujaga dan akan kuraih suatu hari

Cinta ini membuatku berambisi memilikimu

........

Aku meracau pelan saat kurasakan badanku berat kugerakkan. Perlahan mataku mengerjap, membiasakan dengan silau cahaya matahari pagi.

Warna putih langit-langit menyambutku pertama kali. Aku bangun dan duduk di tempat tidur. Kusandarkan tubuhku di kepala ranjang, aku celingukan kanan kiri.

Saat itu aku menyadari ini bukanlah kamarku. Aku bingung, ada di mana aku? Ruangan luas ini jelas bukan di rumahku.

Ah, kalau ini bukan rumahku berarti...

Aku buru-buru menyentuh kepalaku dan menghela napas lega saat aku tau aku masih menggunakan hijabku.

Aku mengingat-ingat, kenapa aku di sini?

Oh, kemarin aku keluar dari kamar mencari ibu lalu ke teras rumah dan bertemu Farhan  setelahnya aku tak ingat lagi.

Farhan?

Aku baru saja akan turun dari ranjang dengan memegangi kepalaku yang masih pusing tapi aku terkesiap saat melihat tanganku. Aku menatap selang infus yang terpasang rapi di tanganku. Apa yang terjadi?

Suara pintu yang terbuka kembali mengagetkan aku.

Farhan, dia disana dengan memegang nampan yang berisi susu dan semangkok yang entah apa itu. Tampak ia juga tercenung menatapku sebelum wajah itu menampilkan senyuman manis.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya. Ia melangkah ke arahku dan menyimpan nampan itu ke atas meja di samping ranjang.

Barulah aku tau bahwa isi mangkok itu adalah bubur yang asapnya masih sedikit mengepul.

Aku berkedip bingung. "Kenapa aku di sini?"

"Kamu pingsan di depan rumahmu. Jadi, aku membawamu ke mari," jawabnya ringan sembari duduk di sofa empuk dekat jendela di samping ranjangku.

Aku melotot kaget. "Kamu menggendongku?"

Farhan terkekeh. "Tidak, aku minta Laura sama Maya mengangkatmu ke mobil, lalu kubawa ke sini."

"Kenapa kamu bawa aku ke rumahmu dan bukan ke rumah sakit saja?" tanyaku lavi, walau sebenarnya ada pula pertanyaan bergejolak di hatiku.

Apa ia hari itu datang ke rumahku dengan membawa Laura dan kak Maya?' Kenapa harus mereka? Ah, tidak, mengapa harus Laura? Lalu, apa sekarang aku cemburu? Uh!

"Untuk apa? Aku punya dokter pribadi." Ia mengangkat bahunya acuh.

Sekejap aku panik sendiri. "Terus, aku nginep di sini semalamam? Bapak dan ibu pasti khawatir dan marah. Aku tidur di tempat orang yang bukan makhromku."

"Annisa," panggilnya.

"Bagaimana ini? Aku takut. Bapak pasti marah."

"Annisa."

"Aku mau pulang. Aku mau pulang."

"Annisa!" Farhan menarik tanganku paksa saat aku berusaha melepas infus di tanganku. Ia terlihat marah bahkan suaranya naik satu oktaf.


Ia berdiri tepat di hadapanku. Wajahnya tegas dan matanya tajam, sekejap aku di selimuti ketakutan.

Kemudian saat ia mulai bisa mengendalikan emosinya, wajahnya menyendu. Ia menghela napas berat.

"Maaf," ucapnya pelan. Ia duduk berjongkok di samping ranjang yang kutempati.

"Kamu masih sakit, aku sudah memberi tau orang tuamu kalau kamu menginap. Aku juga tidak bisa mengantarmu pulang, kau tidur pulas dan orang tuamu tak bisa menjemput karena semalam hujan turun begitu deras. Maaf karena aku membentak dan tadi tidak sengaja menyentuhmu. Aku khawatir padamu." tuturnya.

Aku hanya mengangguk. "Maafkan aku, aku yang terlalu panik."

Aku menunduk menatap kedua tanganku yang meremas ujung kerudung di pangkuanku.

Ia tersenyum tipis, netra kelabunya tampak teduh. "Makanlah. Aku akan suruh seseorang membantumu berganti pakaian."

Aku mengangguk.

"Aku keluar dulu." Ia berdiri dan keluar dari kamar yang kutempati.

Sebelum ia menutup pintu, ia berkata,
"Aku menunggumu di ruang tengah. Bukankah ada yang harus kita bicarakan?" katanya tanpa menoleh kepadaku. Setelah itu ia menutup pintu.

Aku menghela napas, tau apa yang ia maksud ingin bicarakan denganku.

.......

KEPENTINGAN PENERBITAN, BEBERAPA PART DIHAPUS

Ailyn

Annisa Humaira (Telah Terbit) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora