Part 22

41K 2.3K 5
                                    

Revisi : 15 Mei 2017

Aku terbelalak kaget memegangi pipiku yang terasa nyeri karena tamparan.

Aku mematung tak bergerak di hadapan seorang gadis yang menatapku nanar dan terluka, matanya telah mengeluarkan berbutir-butir air mata.

Orang yang tak lain adalah Kak maya. Yang menatapku dengan tangis yang mendera, menatap dengan marah.

Aku takut.

"Kau.." suaranya terdengar menyakitkan dan dalam. "Sudah kukatakan kau tak boleh melepasnya! Biarkan aku yang merebutnya! Kau menjatuhkan kepercayaanku, menghancurkan hatinya dengan penolakanmu! Harusnya kau biarkan aku yang merebutnya tanpa perlu kau lepaskan! Itu lebih baik daripada kau yang melepasnya untukku" Ia murka. Mengeluarkan segala amarahnya.

Aku masih mematung. Rasanya tertampar lagi. Kenapa aku bahkan tak bisa bergerak, tak bisa berbuat apapun saat aku tau aku harus menyelesaikannya?

Bukankah ini jalan yang terbaik? Melepas kak Adnan.

Kenapa? Kenapa rasanya otakku tak bisa memikirkan apapun bahkan saat perlahan aku merasakan mataku tak sanggup lagi membendung air mata?

Sakit, hanya sakit yang aku rasakan. Ya Allah dosakah aku?

"K.. kak." akhirnya saat bergulat lama dengan hatiku hanya kata itu yang bisa keluar dari bibirku.

"Kau perempuan jahat! Tak punya hati!" Makinya.

Ya, aku mengiyakannya dalam hati.

Mengingat berapa banyak hati yang telah ku patahkan. Dari penolakan kak Adnan, penolakan Farhan, kekecewaan Laila, kekecewaan Adrian dan sekarang kemurkaan kak Maya serta pada orang lain yang mungkin tidak bisa ku sadari. Berdosalah aku ya Allah..

Air mata itu terus mengalir dari pipiku, bagaikan patung aku tak bisa bergerak sedikitpun. Sekarang masihkah ada kesempatan untukku?

"Maafkan aku." dalam tangis yang mendera, hanya kata itu memang yang harus kuucapkan pada tiap hati yang telah ku sakiti. Pada setiap jiwa yang bergejolak murka.

Kak Maya melangkah maju kearahku. Aku menutup mataku rapat, pasrah jika ia memukulku lagi tapi nyatanya?

Ia memelukku.

Kak Maya dengan tubuh bergetarnya memelukku erat, membiarkan aku merasakan debaran jantungnya yang cepat. Aku menegang

"Kau jahat Annisa. Kau bodoh! Kaulah yang sebenarnya terlalu banyak menyakiti dirimu sendiri. Bersikaplah egois sedikit untuk dirimu." ucapbya lirih. Ia menaruh dagunya di bahuku, menangis.

Tangisku meledak lagi, aku memeluk tubuhnya. Aku tersadar, sebelum aku mengucap maaf pada orang lain, bukankah sebaiknya aku yang harus berdamai dengan luka? Berdamai dengan rasa sakit yang mendera di dadaku, membebaskan beban membebaskan segala lara dan mencoba dengan membuka lembaran baru.

Hari ini..

Aku telah menerima diriku dan luka itu.

"Maaf kak. Maafkan aku. Maaf karena aku menyakitimu."

Perlahan ia melepas pelukannya, tersenyum di wajahnya yang masih terlihat merah. Ia mengelus pipiku yang tadi ditamparnya

"Aku takkan minta maaf soal ini. Anggap saja ini sebagai balasan sakit hatiku dan Adnan." ia melirik sebentar ke belakangku, aku juga ikut berbalik.

Ah aku sempat lupa bahwa kak Adnan dan Laila masih bersama kami disini dan pastinya menjadi saksi pelepasan rasa sakitku.

Kak Adnan dan Laila yang awalnya menatap kami dengan tegang mulai tampak tersenyum. Laila memegang sebelah tanganku.

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang