1. Perintah

28.3K 1.1K 31
                                    


1. Perintah

Tantra ternganga. Matanya membulat tak percaya. Bahkan untuk beberapa saat mulutnya pun terbuka. Namun menyadari jika perilakunya sangat memalukan, apalagi di hadapan komisaris utama, Tantra pun cepat-cepat kembali memasang wajah normal. Meskipun tak dipungkiri, benaknya masih tak bisa habis pikir dengan apa yang baru diperintahkan oleh Bram Adinata, sang komisaris utama.

"Kamu paham, Tantra?"

"Pa—paham, Pak!" Tantra sedikit tergagap.

Bram manggut-manggut. "Bagus! Urus semuanya dengan cepat dan pastikan kamu mendapatkan yang terbaik."

"I—iya, Pak!" jawab Tantra pelan. Sungguh, otaknya masih butuh mencerna apa yang diperintahkan Bram beberapa menit lalu.

"Kamu tenang saja. Akan ada bonus jika kamu berhasil. Oh, bukan itu saja, gajimu akan saya naikkan lima kali lipat."

Lima kali lipat?

Tantra menelan ludah dengan susah payah. Bonus dan gaji lima kali lipat dari yang diperolehnya sekarang?

Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?

Bayangan nominal angka yang cukup besar pun seketika melintas di kepala Tantra. Dalam bekerja, Tantra tak mempunyai ambisi yang besar. Baginya berapapun gaji yang diterima, ia syukuri. Yang penting sesuai dengan apa yang sudah dia kerjakan.

Lamat-lamat bibirnya pun menyungging sebuah senyuman. Jika benar gajinya bertambah lima kali lipat, tentu saja keinginannya untuk menaikkan haji orang tua di kampung akan semakin mudah.

"Kalau perlu apa- apa kamu hubungi saja Indra." Ucapan Bram pun sontak menarik kesadaran Tantra. Tak lama kepalanya pun mengangguk mengiyakan. Indra yang dimaksud pastilah Indra Sasmita, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Bram Adinata.

"Baik, Pak."

Bram mengangguk. "Baiklah kalau begitu, saya rasa kamu sudah mengerti apa yang menjadi keinginan saya."

"I—iya, Pak!" Tantra mengangguk kembali.

Senyum lebar pun menghias di wajah Bram. "Saya tahu kamu bisa diandalkan, Tantra!"

***

Tantra menegak tandas segelas air putih yang disiapkan Pak Kardi beberapa menit lalu. Lelaki paruh baya yang sudah mengabdi belasan tahun itu hanya dapat melongo melihatnya. Sebenarnya ia tak aneh dengan kedatangan Tantra yang tiba-tiba. Sudah biasa jika para karyawan bolak-balik ke pantry, tapi wajah keruh Tantra tak urung menelisik tanyanya. Selama lebih dua tahun mengenal Tantra, Pak Kardi jarang menemukan wajah Tantra yang kusut seperti sekarang. Tantra itu pemuda yang supel dan ceria. Meskipun pekerjaannya cukup banyak pun, Tantra tak pernah mengeluh.

"Kenapa toh, Mas?" Akhirnya Pak Kardi tidak dapat menahan rasa penasarannya. Ia menarik kursi yang berada di sebelah Tantra. Lalu memandangi pemuda sederhana yang selama ini dekat dengannya. Terlihat kerutan- kerutan yang menandakan Tantra tengah berpikir keras. Sesekali ia memijit pelipisnya membuat rasa ingin tahu Pak Kardi semakin besar.

"Gara- gara pak bos ya?"

Tantra menggeleng. Pak Bos yang dimaksud Pak Kardi adalah Askar Adinata, atasannya sesungguhnya. Direktur utama ditempatnya bekerja.

"Bos besar malah, Pak!" Suara Tantra lirih namun mampu membuat Pak Kardi terbelalak.

Bos besar?

"Pa—pak Bram?"

Tantra mendengus. "Iya, Pak Bram!"

Bram Adinata memang lebih dikenal dengan sebutan bos besar oleh para karyawan. Mengingat kedudukannya sebagai komisaris utama sekaligus ayah kandung Askar Adinata.

Sayembara AskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang