The Feeling of Falling in Love

361 17 15
                                    


First 

Apakah jatuh cinta itu rasanya seperti kopi yang pahit? Atau rasanya seperti permen apel yang manis? 


Langit tak secerah tadi pagi. Bisa dipastikan beberapa waktu lagi pasti air akan berjatuhan dari langit. Aku berusaha sekuat tenaga menggerakkan kursi rodaku, berusaha agar terhindar dari serbuan pasukan air. 

Tetes-tetes air mulai berjatuhan sedikit demi sedikit, aku semakin mempercepat laju kursi rodaku. Langit sudah mulai gelap dengan kilatan-kilatan cahaya di atas langit. Siswa-siswi yang lain juga berhamburan mencari tempat berteduh. Semakin cepat, semakin cepat aku melajukan kursi rodaku. 

Hujan mulai deras, tapi aku belum juga menemukan tempat berteduh, aku tetap berusaha. Entah perasaanku saja atau bagaimana, kurasakan laju kursi rodaku bertambah cepat. Kutengok kebelakang, seseorang sedang mendorong kursi rodaku dengan berlari. Akhirnya kami berhenti di sebuah pelataran di depan ruang kelas yang saat itu kebetulan semua penghuninya telah meninggalkan sekolah. Kami terlindung dari hujan, aku bersyukur ada yang membantuku. 

"Hujannya deras banget!" ujar anak itu. 

Aku bingung harus menjawab apa, aku ragu dia sedang mencoba mengajakku berbicara. Kulihat dia menoleh kearahku. Aku yang saat itu sedang melihatnya langsung menunduk karena malu. 

"I-iya" jawabku tergugup. Kulirik dia sekilas, dia melihatku dan memberikan senyumnya padaku. Aku bingung harus bagaimana. 

Bau tanah dan derai hujan menyelimuti kami, udara juga semakin dingin. Aku suka hujan, aku suka bau tanah ketika sedang hujan, tapi aku tidak suka harus basah karena air hujan. Senyap, we stuck in the moment without any conversation, tapi entah kenapa aku menikmati suasana ini. Diam-diam aku mencuri pandang kearahnya. 

Sering aku kepergok olehnya bahwa aku sedang memandangnya, tapi dia juga sering kepergok sedang mencuri pandang kearahku. Itu membuat kami tanpa sadar tersenyum sendiri entah kenapa. 

Selama kurang lebih setengah jam berada dalam keadaan seperti itu, akhirnya hujan mulai mereda walaupun langit masih terlihat menangis sedikit-sedikit. 

"Sepertinya hujannya mulai reda" ucapnya memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti kami. 

"Iya" jawabku. 

"Kalau begitu, aku pulang dulu ya" ucapnya seraya tersenyum padaku, dan berlari kecil-kecil meninggalkanku. Oh iya! Aku lupa.. 

"Anu.. eh.." ucapku tergugup-gugup. Dia berhenti dan menoleh kearahku. 

"Namaku Dyo bukan Anu" ujarnya seraya tersenyum jail. Mungkin karena melihatku kebingungan memanggilnya. 

"Eh.. iya, Dyo makasih ya" ucapku akhirnya. Aku yakin saat ini pipiku bersemu merah karena kurasakan wajahku yang memanas. 

"Santai aja, sampai jumpa besok!" ucapnya lalu pergi meninggalkanku. 

Aku bergegas kembali ke kelasku untuk mengambil tas dan bergegas untuk pulang ketika sebuah suara memanggilku dari belakang. 

"Ren!! Renata!!" teriak seseorang di belakang. 

Aku menoleh dan menghentikan gerakan kursi rodaku. Gita, sahabatku sejak kecil yang mulai TK sampai sekarang selalu bersekolah di tempat yang sama denganku. Pribadinya yang ceria dan unik membuatku merasa nyaman setiap kali berada didekatnya. Dia berlari terengah-engah sampai napasnya pun seperti memburu. 

Tuhan Kapan Aku Bahagia [TERBIT]Where stories live. Discover now