5. Begin?

1.6K 149 33
                                    


Ia bukanlah bulan, yang punya banyak jurang. Ia adalah sinarnya yang tak pernah berhenti mengubah malam menjadi terang.

Hatinya seperti awan yang walaupun mendung dan menangis, ia akan tetap memberi kehidupan pada makhluk di bawah luasnya langit.

Dan kecantikannya seperti pelangi yang tak akan pernah berhenti dikagumi saat muncul setelah hujan datang membasahi bumi.

Dan wanita layaknya matahari itu haruslah tetap bersinar terang, berkicau riang, seperti burung yang telah lepas dari sarang.

***

Seoul, 16 Agustus 2016

22:01

Kau berhutang penjelasan padaku, Saem.

Jung Hoseok menatap dua punggung yang telah menjauh. Matanya sekarang terpaku pada punggung sempit di sebelah kiri pria pendek itu. Ia tersenyum kecil melihat helaian rambut indah itu tertiup dinginnya angin malam. Ia hanya bisa mengaguminya dari belakang, ia berbalik dan mengerutkan keningnya ketika dua insan itu menghilang setelah berbelok di ujung jalan.

Otaknya bekerja keras, berusaha memahami wanita seperti apa Taehyung itu. Netranya dapat melihat ekspresi wajah cantik itu, namun syarafnya tak dapat menangkap apa arti di baliknya. Membaca seorang Kim Taehyung adalah hal yang sulit. Wanita penuh dengan tanda tanya dan kemisteriusan. Cara berpakaiannya terlihat berbeda dari ibu rumah tangga lainnya. Gerak-geriknya di keramaian pun sangat aneh. Ia tak bisa menyebutnya mencurigakan, hanya.. sangat aneh. Terlihat was-was, gelisah, bahkan kadang keningnya berkerut ketakutan.

Masa lalunya terlihat menarik. Namun, siapa seorang Jung Hoseok yang rela menghabiskan waktunya demi menggali kehidupan Kim Taehyung? Hoseok sendiri tak tahu apa yang menyebabkannya tertarik pada kehidupan orang lain. Sebelumnya tidak pernah seperti ini.

Hoseok merogoh saku celananya dan mendial­ nomor sopirnya. Namun, sebelum tersambung, ia mengakhirinya dan memasukkan kembali ke saku celananya. Ia menghela nafas berat dan akhirnya berjalan pulang. Ia ingin menikmati udara malam hari dengan berjalan kaki, meski kakinya masih berbalut perban akibat paku sialan tempo hari.

***

Pria bersurai sehitam arang itu melihat jauh ke luar jendela. Pupil gelapnya mengikuti arah bola oranye itu pergi. Sekarang adalah waktu istirahat pertama dan di sinilah ia melipat kedua tangannya di depan dada, punggung yang bersandar pada kursi dan sepasang headset yang menempel manis di kedua telinganya.

Ia tak mengerti apa yang membuatnya menyukai olahraga bola besar itu. Namun, basket selalu menjadi hal pertama yang selalu ia lakukan jika amarahnya sudah tak dapat di bendung lagi dan ia sendiri tak tahu bagaimana melampiaskan semuanya. Yang pasti, ia tak ingin menyakiti siapapun, sebenarnya, termasuk ibunya. Namun, mungkin justru lidahnya lah yang setiap hari menghujani luka di hati bersih ibunya. Ia sungguh tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Jadi, ia hanya bisa meneruskan apa yang sudah ia mulai. Ia bahkan tak tahu apakah ibunya akan bertahan sampai akhir. Ia tak tahu apakah ibunya masih memiliki tameng yang kokoh untuk menghalang ribuan anak panah yang ia lepaskan ke arahnya. Ia tak tahu, ia tak mengetahuinya. Semuanya. Ia bahkan tak tahu untuk apa ia hidup. Semuanya terasa gelap, tak ada cahaya, seperti kala ia menutup mata.

"Hey, kiddo!" suara nyaring itu membuatnya mengernyit, menyatukan kedua alisnya dan mengumpat pelan. Sejak ia membawanya ke rumah sakit, ia jadi selalu menempel padanya. Entah apa yang pria itu inginkan. Ia yakin pasti ada alasan dan sepertinya ia mengetahuinya. "Waahh.. apa ini?"

"Kotak P3K?"

"Huh? Kenapa ada sendok di atasnya?"

"Tentu saja kotak makan, bodoh!"

Don't Come When I Sleep (HopeV/JinV/NamTae) - [DISC]Where stories live. Discover now