Part 36 - Baik atau Bodoh?

1.3K 93 2
                                    


"Nenek tahu kamu terluka, tapi jangan seperti ini. Kakakmu sangat tegar menghadapi apapun yang menghalangi kebahagiaanya. Jadi jangan keras kepala seperti ini. Apa setelah kamu mengembalikan ginjal milik kakakmu, nenek dan kakek akan bahagia? Justru nenek dan kakek akan tambah repot. Kita akan melihatmu berbaring menggantikan kakakmu dan setelah itu nenek ataupun kakek akan merasakan apa itu kehilangan," ujar nenek lembut. "Ginjalmu jauh lebih parah daripada ginjal Kak Gevan. Nyawamu akan terancam jika ginjal pemberian kakakmu harus dikembalikan. Kamu tahu itu kan?"

"Iya, Lika tahu itu. Tapi aku tidak bisa membiarkan Kak Gevan kesakitan seperti itu. Dia butuh pertolongan dari kita. Dan jalan satu-satunya adalah mengambil ginjal milikku."

Kakek yang duduk dekat pintu ruangan Kak Gevan menatapku tajam. Dia seolah menolak mentah-mentah ucapanku. Apalagi Nenek. Dia seketika melepas pelukanku dan berjalan menuju toilet.

Dan..sosok itu masih saja diam di tempatnya dengan tatapan sinis yang membuatku segera memalingkan wajah. Setibanya aku di rumah sakit dengan dituntun Tiara, sosok itu tidak mengatakan apapun padaku. Entah basa-basi ataupun bertanya tentang kondisiku, dia tidak melakukan itu.

"Lika, kamu mau ke mana?" suara tegas Kakek terdengar menggemakan telingaku. Aku hanya memandang Kakek dengan wajah tenang tanpa niat untuk menghampirinya.

"Ke ruangan dokter. Sekalian mau ke ruang operasi,"

"Keras kepala," gumam sosok yang masih menatap layar handphonen nya tanpa memandangku. Badai. Meski jarakku dengan Badai cukup jauh, aku tetap bisa mendengarnya.

"Untuk kali ini, jangan membuat kakek semakin panik! Kakek benar-benar bingung."

Nenek keluar dari toilet terburu-buru melihat Kakek semakin jengkel denganku. Wanita yang merawatku sejak kecil itu menghampiriku dengan wajah penuh guratan emosi. Nafasnya pun terdengar menahan emosi ketika jarak antara aku dan Nenek semakin ditepis oleh langkah Nenek.

"Jangan bodoh, Lika! Nenek dan kakek sangat jengah merasakan tingkah lakumu saat ini. Kamu bisa saja membuat dua nyawa melayang dalam hitungan detik jika sikapmu masih seperti ini," geram Nenek.

"Nenek?" aku terperanjat mendengar ucapan Nenek yang menyangkut tentang kematian. Meski tidak disebutkan langsung, aku tahu siapa yang akan kehilangan nyawa mereka dalam hitungan detik seperti yang diucapkan Nenek. Tentu saja orang itu adalah Nenek dan Kakek.

Nenek mulai menjauh dariku. "Kalau kamu tetap akan mengembalikan ginjal milik kakakmu, lakukanlah! Nenek tidak peduli."

Kulihat Kakek kembali duduk dengan gusar. Wajahnya dia tutup dengan kedua telapak tangan yang mulai berkeriput. Kembali kutatap punggung Nenek yang menghampiri Kakek.

"Ya, aku akan melakukannya. Karena itu adalah kewajiban," jawabku pelan. Mungkin hanya aku yang dapat mendengar bisikan kecil tersebut. Melihat tempat Nenek dan Kakek berada, sepertinya sangat mustahil jika mereka mendengar ucapanku yang terdengar sangat pelan.

"Kamu bodoh atau gila? Oh, sepertinya kamu mengalami keduanya," gumam Badai cukup keras.

Hingga kurasakan dua pasang mata lainnya ikut menatap Badai. Mata itu milik Nenek dan Kakek. Sepertinya mereka terkejut mendengar ucapan Badai yang cukup kasar bagi mereka. Karena aku tahu di mata nenek dan kakek, Badai adalah pria santun yang pernah ditemuinya. Dan sekarang?

Lihatlah, dia dengan santainya mengataiku bodoh dan gila. Bisakah pujian santun itu tetap ada di dirinya?

"Kamu tahu? Sejak tadi aku hanya mampu mendengar ucapan egoismu tanpa sanggup melakukan apapun. Namun saat ini, aku sulit mengendalikan emosi itu karena tingkahmu semakin membuatku jengkel. Bisakah kamu hargai kedua orang itu? Mereka khawatir dengan keadaanmu. Dan kamu?" Badai mengacungkan telunjuk kanannya tepat di depan wajahku. "Kau membuat mereka kesal atau bahkan marah. Aku yakin mereka memiliki jalan keluar tanpa menyakiti salah satu dari cucunya."

"Apa yang harus kita lakukan selain mengambil kembali ginjal yang ada di tubuhku? Rumah sakit ini sudah berusaha mencari pendonor terbaik untuk Kak Gevan, tetapi nihil. Tak satupun ginjal masuk ke ruang pendonor. Dan kamu tahu apa itu artinya?" aku berteriak dengan sisa emsoiku.

"Kak Gevan akan pergi!" sambungku lemah.

Aku menumpukan berat tubuhku di jajaran kursi rumah sakit. Dan Badai masih berdiri dengan helaan nafas panjang.

"Aku akan mendonorkan ginjalku untuk Kak Gevan," ujar Badai tenang.

Apa? Badai ingin mendonorkan ginjalnya untuk Kak Gevan?

Bukan hanya aku yang tercengang mendengar penuturan Badai, Nenek dan Kakek pun ikut menganga juga sepertiku. Bahkan, Kakek yang nyaris menutup matanya segera membukanya kembali. Sama halnya dengan Nenek. Dia sontak berdiri dan memandang sosok yang digilai kaum hawa ini.

Sekali lagi kurekam ulang ucapan Badai yang beberapa menit lalu kudengar. 'Aku akan mendonorkan ginjalku untuk Kak Gevan', batinkuku mengulang kalimat Badai.

"Ti..tidak usah. Kami dari keluarga Wijaya sangat mengucapkan terima kasih dengan penawaranmu yang sangat berguna. Namun kami tidak ingin melibatkan seseorang dari keluarga lain hanya untuk membantu satu masalah keluarga kami. Kakek tahu kamu sangat baik. Tetapi kebaikan itu ada batasnya. Menjaga Lika di saat kami sedang bekerja dan selalu mengingatkan Gevan akan kewajibannya, itu sudah cukup untuk kami. Jadi kami menolak penawaranmu," tolak Kakek lembut.

Tersirat di wajah Kakek ingin sekali menerima tawaran Badai. Kukira tawaran itu cukup langka. Dan Badai dengan mudahnya menyerahkan hak terpentingnya untuk Kak Gevan. Keluargaku saja tidak ada yang berinisiatif untuk memberikan satu ginjalnya untuk Kak Gevan. Nah, Badai yang notabenenya bukan dari keluarga Wijaya tiba-tiba ingin mendonorkan ginjalnya untuk Kak Gevan. Bukankah itu menakjubkan?

"Berbeda keluarga itu tidak masalah jika prinsipnya untuk saling membantu. Saya tahu jika Lika yang mendonorkan ginjalnya, sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Tidak mungkin nenek atau kakek kan yang mendonorkan ginjalnya untuk kak Gevan? Siapa lagi di sini yang dapat dipertaruhkan? Kalian tidak perlu khawatir, keluargaku akan mengerti dengan keadaan Kak Gevan," ucap Badai santun.

Berbeda sekali ketika dia berkata padaku. Tidak ada kata lembut atau halus sedikitpun. Yang ada hanyalah sindirian atau kata-kata sinis. Namun di balik semua itu aku tahu ada sisi lain sosok Badai yang menyamankan suasana.

Entah sadar atau tidak, kedua sudut bibirku tertarik ke atas dengan garis lukis senyuman. Jangan sampai aku terpesona pada Badai karena sikapnya yang baik. Meskipun aku sudah sejak dulu terpesona dengannya. Eit! Hanya secuil kukuku saja. Selebihnya sudah diambil oleh Kak Gevan.

Nama itu membuatku segera memalingkan wajah ke arah ruangan dimana pemilik nama itu berbaring dengan kesakitan yang mendera tubuhnya. Dia akan selalu baik-baik saja, batinku bergemuruh.


TBC

Badai Galatoma || #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang