Part 48 - Alasan Badai

1.1K 80 3
                                    

"Lika-liku kehidupan! Hei, bangun. Merepotkan."

Suara seseorang membuatku terjaga dari tidurku. Cahaya rembulan kembali memenuhi lensa mataku. "Badai?"

"Kamu merepotkan sekali sih?"

"Mana aku tahu kalau aku sampai pingsan. Kamu tega ya sama orang yang baru saja sadar dari pingsannya?"

Badai segera berjalan mendekati meja yang digunakan untuk makan malam tadi. "Tahu begini, aku tidak akan mengizinkanmu membuka laptopku. Mengganggu orang makan saja," dengusnya.

Aku tidak menghiraukan kalimat gerutuan Badai. Yang saat ini aku pikirkan adalah seseorang yang dimaksud Kak Gevan. Mana mungkin dia Badai. Lihat saja Badai! Dia bahkan marah karena aku mengganggu acara makannya. Bagaimana mungkin dia menyukaiku. Aku percaya diri sekali.

Kulangkahkan kakiku menuju pembatas balkon. Aku mendongak menatap hamparan langit di atas sana. Ribuan bintang telah menghiasi langit dengan cahaya pijarnya. Di antara ribuan bintang itu, aku tertarik dengan satu bintang yang bersinar cukup terang. Ukurannya tidak terlalu besar dan sinarnya tidak secerah Sirius. Bintang apa itu?

"Itu bintang Alphard. Salah satu bintang yang ada di rasi Hydra." Suara seseorang menjawab kebingunganku.

Siapa lagi kalau bukan Badai. Dia baru saja menyelesaikan makan malamnya yang menurutku terlalu lama. Aku baru menyadari satu hal ketika Badai telah berada di sampingku.

Badai tahu nama bintang dan rasi yang tengah kutatap, bagaimana bisa? Bukankah dia anti dengan langit malam dan sejenisnya?

"Tahu dari mana? Bukankah kamu benci dengan hal yang berbau malam? Atau jangan-jangan kamu memang suka tapi pura-pura tidak suka?"

"Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku benci dengan malam," sahutnya tenang.

"Tapi kamu menendangku dari ekskul jurnal karena artikel malam," selidikku.

Badai menatapku sekilas sambil menyunggingkan senyum miringnya. "Aku risih saja melihat mading penuh artikel malam. Seandainya kamu menulis satu atau dua kali, aku akan memakluminya. Tapi kamu melakukan hal itu lebih dari ratusan kali. Kamu pikir aku mengeluarkanmu dari ekskul jurnal karena alasan mading saja? Aku ketua tim yang profesional, Lika. Asal kamu tahu saja, waktu itu pembina ekskul memintaku mengurangi satu anggota. Aku bimbang. Menurutku semua bekerja dengan bagus," jawab Badai.

"Oh, jadi menurutmu aku bekerja dengan buruk?" selaku dengan emosi.

Lagi-lagi Badai menyunggingan senyum meremehkannya itu. "Aku belum selesai berbicara, Lika Wijaya," dengus Badai kesal. Rona merah menyelimuti kedua pipiku. Aku benar-benar malu mendengar jawaban Badai.

"Lanjutkan." Aku bersuara dengan lirih. Berharap Badai tidak mendengarnya itu terlalu mustahil melihat jarak antara aku dan badai yang cukup dekat.

"Usiamu yang paling muda di antara semua anggota. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan pembina, akhirnya aku memutuskan mengeluarkanmu dari tim jurnal. Semua itu ada alasan yang logis. Setiap ajang perlombaan jurnal tingkat kota, syarat utama adalah usia di atas rata-rata karena menjaga dari kecurangan peserta. Maka dari itu kamu yang harus keluar dari tim jurnal."

Aku semakin menundukkan kepalaku mengetahui alasan yang diucapkan Badai. Dia benar. Alasan itu juga yang membuat tim jurnal sekolah harus menahanku agar tidak mengikuti ajang perlombaan. Dan aku baru tahu alasan itu beberapa detik yang lalu. Ternyata perkiraan buruk mengenai Badai selama ini salah. Dulu kukira Badai sengaja membocorkan rahasiaku tanpa alasan. Ternyata ini untuk kebaikanku dan Kak Gevan.

Tidak ada alasan lagi untuk mengelak dari kenyataan kalau Badai memang sosok yang baik. Dia mempertimbangkan semua hal dari segi pandang manapun.

"Terima kasih. Badai, kamu tahu darimana nama bintang yang tadi kulihat?" tanyaku setelah Badai menyodorkan satu bungkus makanan sebagai camilan. Aku menerima makanan tersebut sambil membukanya dengan satu gerakan.

"Aku pernah membaca dari berbagai majalah," jawab Badai sambil memasukkan camilan ke dalam mulutnya.

"Badai, terima kasih untuk selama ini."

Tenggorokanku serasa tercekat ketika satu kalimat tersebut keluar dari mulutku. Butuh perjuangan untuk mengatakan satu kalimat yang menjadi pantangan hidupku ini. Pantang mengatakan terima kasih pada Badai.

"Kamu tidak ingin memujiku dulu sebelum mengatakan terima kasih? Setidaknya katakan bahwa aku ini tampan," bujuknya dengan kekehan ringan.

"Kamu tampan tanpa harus kukat.."

Secara cepat kubekap mulutku. Mati aku.

"Oh, kamu mengakui kalau aku tampan?"

Badai hanya terkikik geli melihat wajahku yang mungkin sudah pucat pasi. Mulutku benar-benar liar. Bagaimana mungkin aku mengatakan kalau Badai tampan tepat di hadapannya? Pantangan hidupku ke tiga, mengakui bahwa Badai memang tampan. Tapi beberapa menit yang lalu, aku melanggar dua pantangan hidupku sekaligus. Hari ini benar-benar aneh.

"Badai, seandainya aku menyukaimu, apa yang akan kamu lakukan?"

Dunia memang sangat aneh hari ini.

Aku sadar jika saat ini Badai tengah menatapku tajam. Aku berani menjamin bahwa dia terkejut dengan pertanyaanku. Itu pasti, bayangkan saja setiap hari aku dan Badai tidak pernah akur, dan sekarang aku mengatakan hal yang cukup sulit untuk kupahami. "Aku senang kalau hal itu terjadi. Bukankah itu sudah sering untukku? Hari-hariku tidak pernah luput dari seorang gadis yang menyatakan perasaannya padaku."

Dia benar. Aku bukanlah gadis pertama yang menyatakan perasaan padanya. Dari semua gadis di sekolah, mungkin hanya aku dan Tiara saja yang belum mengatakannya. Tidak, Tiara pernah satu kali mengungkapkan perasaannya pada Badai ketika MOS dulu.

"Tapi kamu adalah gadis pertama yang membuatku merasakan apa itu cinta."

Aku terlonjak mendengar ucapan Badai. Tanpa harus memegang dadaku, aku tetap dapat merasakan detak jantungku yang bedegup kencang. Meskipun suara Badai pelan aku masih mendengarnya. Aku tidak mungkin salah mendengar.

"Aku memiliki perasaan itu sejak awal SMP. Tepat ketika MOS dulu," ucap Badai lagi.

Kuberanikan menatap mata Badai yang sengaja menatapku. Aku menelisik lebih jauh mata yang ada di hadapanku. Berharap menemukan kebohongan di sana. Namun tidak ada. Badai mengatakannya dengan jujur. Apa selama ini aku kurang peka?

"Ka..kamu bilang apa?"

TBC

Badai Galatoma || #Wattys2019Where stories live. Discover now