Bagian ke 36: Ruang Istirahat

2.5K 45 0
                                    

Ketika hari mulai malam, tampak Tu Ci Yen melangkah ke dalam ruang depan, lalu duduk dengan wajah dingin.
Siauw Kiam Meng dan Siauw Peng Yang duduk di hadapannya, di belakang Tu Ci Yen berdiri delapan orang berbaju hitam.
Hening suasana di ruang itu, tiada seorang pun membuka mulut. Berselang beberapa saat kemudian, Tu Ci Yen menatap Siauw Peng Yang seraya berkata, "Adik keempat, aku dengar orang yang membawa cong koan pergi itu Hek Siauw Liong. Benarkah itu?"
"Wajahnya memang mirip, namun dia mengaku bernama Seng Sin Khi!" Siauw Peng Yang memberitahukan.
Tu Ci Yen mengerutkan kening, kemudian tanyanya lagi.
"Bagaimana kepandaiannya?"
"Tinggi sekali," jawab Siauw Peng Yang. "Menangkap cong koan hanya dalam satu jurus."
"Oh?" Tu Ci Yen berpikir keras. "Jurusnya berasal dari perguruan mana?"
"Entahlah." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala. "Cong koan bertanya padanya, tapi dia tidak menjawab sama sekali."
"Jadi tidak tahu dia berasal dari partai mana?" Tanya Tu Ci Yen dingin.
"Tidak tahu." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala lagi. "Ohya! Jurus-jurus yang dikeluarkannya merupakan jurus simpanan partai terkemuka masa kini."
"Oh?" Tu Ci Yen tertegun. "Jurus-jurus apa yang dikeluarkannya?"
"Kim Kong Ci, Liu Sing Hui Jiau dan jurus yang terakhir sangat mengejutkan."
"Jurus apa yang sangat mengejutkan?" tanya Tu Ci Yen heran.
"Itu adalah jurus Chui Sim Ciang." Siauw Peng Yang memberitahukan.
"Apa?" Wajah Tu Ci Yen berubah. "Dia juga bisa jurus itu?"
"Ya." Siauw Peng Yang mengangguk. "Aku menyaksikannya sendiri."
"Oh?" Tu Ci Yen mengerutkan kening. "Apakah dia seperguruan dengan cong koan?"
"Itu tidak mungkin." Siauw Peng Yang menggelengkan kepala.
"Apa alasannya?" Tu Ci Yen menatapnya tajam. "Kenapa engkau mengatakan tidak mungkin?"
"Sebab ketika dia mau pergi, dia bilang cong koan punya hubungan dengan temannya, maka cong koan harus diserahkan pada temannya itu!"
"Kalau begitu ....." Tu Ci Yen berpikir keras, kemudian melanjutkan. "Dia tidak seperguruan dengan cong koan, tentunya juga bukan Hek Siau Liong!"
"Menurut aku ....." sela Siauw Kiam Meng. "Seng Sin Khi itu memang bukan Hek Siau Liong."
"Oh?" Tu Ci Yen tersenyum. "Apa alasanmu mengatakan begitu?"
"Karena kepandaian Seng Sin Khi sangat tinggi, sedangkan Hek Siau Liong meninggalkan tempat ini baru setahun, maka tidak mungkin dia memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
Alasan tersebut memang masuk akal, namun Tu Ci Yen malah tidak mengangguk, cuma tersenyum aneh.
"Adik keempat!" bentak Tu Ci Yen mendadak dengan wajah berubah dingin. "Nyalimu sungguh tidak kecil!"
Siauw Peng Yang tersentak, ia memandang Tu Ci Yen dengan mata terbelalak lebar.
"Kakak tertua, aku tidak mengerti maksudmu!"
"Engkau tidak mengerti?" Tu Ci Yen tertawa dingin.
"Aku sungguh tidak mengerti!"
"Makan di dalam bantu diluar! Engkau mengerti?"
Hati Siauw Peng Yang tergetar hebat, namun ia tetap berusaha tenang dan pura-pura kebingungan.
"Kakak tertua, aku jadi bingung, bagaimana mungkin aku ....."
"Adik keempat!" bentak Tu Ci Yen mengguntur. "Engkau masih berpura-pura?"
"Kakak tertua, aku ..... aku tidak berpura-pura." Siauw Peng Yang sudah merasa tegang dalam hati.
"He he!" Tu Ci Yen tertawa dingin. "Adik keempat, tiada kebaikan bagimu untuk berpura- pura."
"Kakak tertua ....."
"Namun kita kecil dan besar bersama, bahkan juga saudara seperguruan! Berdasarkan itu, kini aku masih tidak mau menyusahkanmu! Cobalah pikir baik-baik, engkau berbuat begitu apa gunanya?"
"Kakak tertua, aku tidak mengerti ....."
"Kalian berdua ke mari!" seru Tu Ci Yen sambil memberi isyarat ke belakang. Seketika juga dua orang berbaju hitam yang berdiri di belakangnya maju menghadap.
"Hamba siap menerima perintah." Kedua orang berbaju hitam itu memberi hormat pada Tu Ci Yen.
"Bawa Siauw Peng Yang ke ruang istirahat!" Tu Ci Yen memberi perintah.
Yang dimaksudkan ruang istirahat adalah penjara, maka tidak aneh kalau wajah Siauw Peng Yang langsung berubah.
"Kakak tertua ....."
"Adik keempat, engkau harus mengerti!" ujar Tu Ci Yen dingin. "Aku bertindak demikian demi kebaikanmu. Beristirahatlah beberapa hari sambil berpikir baik-baik!"
"Kakak tertua ....."
Tu Ci Yen mengibaskan tangannya, itu berarti menyuruh kedua orang berbaju hitam membawa Siauw Peng Yang pergi.
"Tuan muda Peng Yang!" Kedua orang baju hitam menjura. "Mari ikut kami!"
"Tunggu!" seru Siauw Kiam Meng mendadak.
"Eh?" Tu Ci Yen menatapnya tajam. "Adik ketiga, engkau ingin membela Siauw Peng Yang?"
"Aku ingin mohon pengampunan untuk Siauw Peng Yang," jawab Siauw Kiam Meng serius.
Tu Ci Yen menggelengkan kepala. Air mukanya pun tampak dingin sekali.
"Adik ketiga, saat ini tidak bisa. Biar dia beristirahat beberapa hari dulu, barulah kita bicarakan kembali."
Bibir Siauw Kiam Meng bergerak ingin mengatakan sesuatu, namun telah didahului Tu Ci Yen.
"Engkau tidak perlu banyak bicara lagi. Aku telah memberi perintah, tidak bisa ditarik kembali. Maka percuma engkau bicara apa pun."
Siauw Kiam Meng terpaksa diam, sedangkan kedua orang berbaju hitam itu menjura lagi pada Siauw Peng Yang.
"Tuan muda Peng Yang, mari ikut kami!"
Siauw Peng Yang mengerutkan kening, ia mengarah pada Tu Ci Yen dengan sorotan dingin, lalu melangkah pergi dikawal kedua orang berbaju hitam itu.
*
* *
Pada waktu bersamaan, ketika Tu Ci Yen pulang, di sebuah kuil tua yang terletak sepuluh li dari Siauw keh cung (Perkampungan keluarga Siauw). Tampak duduk enam orang tua di dalam kuil itu. Mereka berenam memakai jubah abu-abu dan rata-rata berusia di atas tujuh puluhan.
Mendadak terdengar derap kaki kuda, salah seorang tua itu segera membuka mulut.
"Sudah datang!"
Kelima orang tua itu manggut-manggut. Orang tua yang berkata tadi melanjutkan ucapannya.
"Mari kita sambut di pintu!"
Mereka berenam bangkit berdiri, lalu menuju pintu kuil itu dan berdiri diam di situ.
Seekor kuda berhenti di depan pintu kuil, yang duduk di punggung kuda itu adalah Pek Giok Liong.
Keenam orang tua itu segera menjura memberi hormat.
"Hamba menyambut kedatangan ketua panji!" ucap mereka serentak.
Ternyata keenam orang tua itu Siang Sing (Sepasang Bintang), Thian Koh Sing dan Thian Kang Sing. Keempat orang tua adalah Si Kim Kong (Empat Arhat), yakni Penakluk iblis, Pembasmi siluman, Penangkap setan dan Pembunuh jin. Mereka semua ikut Pek Giok Liong ke daratan tengah ini, merangkap sebagai pelindung pula.
Pek Giok Liong melompat turun, dan segera membalas memberi hormat pada keenam orang tua itu.
"Terimakasih atas penyambutan kalian berenam orang tua!" Usai berkata begitu, Pek Giok Liong pun menambatkan kudanya di sebuah pohon, lalu menyeret cong koan yang dibawanya itu ke dalam kuil. Keenam orang tua mengikutinya dari belakang dengan sikap hormat.
Setelah berada di dalam kuil, Pek Giok Liong menaruh cong koan itu ke bawah.
"Siapa orang itu?" tanya Thian Koh Sing sambil menatap cong koan itu.
"Entahlah." Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Tapi dia kepala pengurus baru di keluarga Siauw. Marganya Ho, belum tahu asal-usulnya. Namun dia mahir jurus Chui Sim Ciang (Pukulan penghancur hati), ilmu andalan Liok Tay Coan."
"Apa?" Thian Koh Sing Ma Hun tercengang. "Dia mahir jurus itu?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Bahkan sudah mencapai tingkat kedelapan."
"Kalau begitu, mungkin dia murid Liok Tay Coan." ujar Thian Koh Sing Ma Hun.
"Buka jalan darahnya!" sela Thian Kang Sing. "Kita tanya saja dia!"
"Tidak usah!" Pek Giok Liong menggelengkan kepala. "Lebih baik serahkan saja pada Liok Tay Coan."
"Baiklah!" Thian Koh Sing manggut-manggut. "Ketua sudah bertemu orang yang dicari itu?" tanyanya.

Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now