56 Hari Sebelumnya 💦

715 114 283
                                    

Perjalanan pada pagi hari itu terasa sangat sepi. Tidak ada satu kata pun yang diucapkan olehnya. Begitupula denganku. Ketika tubuhnya yang ringan itu mulai beranjak—meninggalkan motorku tanpa penumpang—kakinya yang jenjang mulai melangkah dengan alunan yang tergesa. Ia membuatku kembali berteman dengan tanya. Membuatku harus mengejarnya, lagi dan lagi. Derap sepatu kita menjadi satu-satunya yang terdengar. Menjelajahi koridor demi koridor. Sebelum akhirnya, perempuan itu berhenti. Kemudian membalikkan badannya ....

"Nanti nonton, ya?" Adalah kalimat pertama yang ia ucapkan.

Dinar memang tidak semestinya berjalan sampai ke koridor depan kelasku. Sebab, kelasnya yang terletak di lantai dua, membuat kita biasa berpisah di bawah tanggadi dekat ruang piket. Namun, pagi itu kondisinya agak berbeda. Dinar tidak menuju ke kelasnya, melainkan ke ruangan paling ujung dari koridor depan kelasku; ruang seni. Iya, sebentar lagi perempuan itu akan menikmati penampilan pertamanya bersama TaTra. Membuatnya harus segera merias diri.

"Nanti nonton juga, ya?" ucapku, menanggapinya dengan senyum.

Dinar tidak menjawab apa-apa. Ia hanya membalas senyum yang kulemparkan, lalu kembali melanjutkan langkah. Tapi baginya, itu adalah cara untuk mengiyakan. Aku pun memasuki kelas lebih dalam. Berjalan menuju tempat di sudut terjauh dari pintu utamanya. Tidak biasa, tidak ada Riko di sana—yang selalu saja datang lebih dulu. Ah, aku hampir lupa, Riko, kan, sedang menjalankan tugasnya sebagai panitia Dies Natalis. Di saat-saat seperti inilah, seringkali aku merindukan tingkah jahilnya, atau bahkan pertanyaan-pertanyaannya yang kurang penting.

Sebenarnya hal itu tidak perlu dijadikan masalah, selagi masih ada teman-teman yang lain. Tapi, di sini kita tidak hanya bicara soal kesediaan, melainkan juga kebiasaan dan kenyamanan. Hanya bersama Riko, aku merasa obrolan yang terjadi tidak pernah membosankan. Bahkan, bila kurasa obrolan itu kurang penting sekalipun. Mungkin karena kita sudah saling memahami satu sama lain. Berbeda dengan mereka, yang hanya akan membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak ingin kubicarakan.

"Kantin, yuk!" 

Suara berat itu menyusup ke telingaku, ketika baru saja ingin meletakkan tas dan jaket yang kukenakan. Aku sempat melihat mejaku bergeser, menyodok ke arah tembok. Sebelum akhirnya aku menoleh, dan mendapati Riko di sana—duduk di atas meja dengan sebuah kamera digital yang ia kalungkan di lehernya. Iya, begitulah. Lelaki itu memang mahir dalam mengoperasikan kamera. Bahkan hampir di setiap kegiatan, ia selalu ditugaskan untuk mengambil dokumentasi.

"Udah kumpul dari sekolah masih sepi lagi?"

"Masih kaget aja? Udah, deh. Hal terpentingnya, sekarang gua butuh sarapan. Lu mau ikut nggak? Kalo nggak, gua jalan sendiri, nih ...." ucapnya, seraya bangkit dari posisi duduk.

"Iya ... ikut," jawabku singkat.

Setelah sedikit merapikan barang-barang yang kubawa, aku pun berjalan sedikit lebih cepat untuk menyusul Riko, yang beberapa saat sebelumnya sudah bersemangat untuk mencuri start lebih dulu. Butuh waktu sampai menginjakkan kaki di luar kelas, baru aku bisa benar-benar berjalan berdampingan dengannya. Sepertinya, ia memang sangat lapar. Orang yang terbiasa sarapan seperti Riko, memang tidak bisa terlambat makan sedikit saja.

Perjalanan menuju ke kantin sekolah, membuat kita—mau tidak mau—harus melewati ruang seni. Tempat di mana Dinar berkumpul bersama teman-temannya pada saat itu. Aku sempat menoleh, melihat pintunya yang tertutup rapat, demikian pula dengan gordin yang menutupi kaca demi kaca. Namun, suara gaduh khas perempuannya sama sekali tidak bisa diredam. Aku hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang tipis saja. Aku tidak sabar untuk melihat apa yang membuat Dinar begitu bersemangat, semenjak aku menjemputnya di Taman Kelinci pagi itu.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang