8 Hari Sebelumnya 💦

582 50 438
                                    

Meski sadar telah menaruh hati padanya, aku ingin semuanya tetap mengalir. Seperti biasanya. Terlebih, ada hal yang masih belum bisa kuselesaikan. Sampai hari itu tiba, aku ingin terus mengenalnya. Baik buruknya dia. Senang dan sedihnya dia. Entah itu yang ia perlihatkan, atau tidak. Entah itu yang berhasil ia sembunyikan, atau tidak.

Belakangan, aku merasa ada sesuatu yang mungkin saja menganggu hati dan pikirannya. Dan oleh karena itu, aku mulai mengkhawatirkannya.

Tapi, bukankah Dinar memang begitu? Penuh kejutan, dan ketidakjelasan?

***

Setelah sorenya menemui kegagalan, malam itu rencananya aku akan kembali ke rumah Dinar. Entah bagaimana caranya, perempuan itu telah berhasil membuatku khawatir. Yang aku tahu: pesanku tidak dibalas olehnya sedari pagi. Padahal, aku pun tahu: itu adalah hal yang biasa ia lakukan. Hanya saja, satu-satunya pesan yang ia kirimkan di hari itu berisikan perintah, supaya aku tidak menjemputnya.

Kak, langsung ke sekolah aja.

Aku nggak masuk.

Lagi nggak enak badan, tulisnya dalam pesan itu.

Ini adalah kali pertamanya Dinar melewatkan kehadirannya di sekolah. Biasanya, biar sakit sedikit pun, ia tetap memaksakan untuk berangkat. Fisiknya selama ini—bisa dibilang kuat-kuat saja. Bahkan, kebiasaannya hujan-hujanan pun tidak mampu membuat tubuhnya demam. Aku tidak mau mengira-ngira; apa yang terjadi padanya, seberapa parah, dan apa yang mungkin saja sedang ia lakukan pada saat itu. Tapi, aku juga tidak bisa mengesampingkan rasa khawatirku. Terlebih, setelah aku bertemu dengan ibunya.

Pintu rumahnya terbuka lebar kala itu. Ibunya duduk di kursi ruang tamu, tepat dalam pelukan Rina, yang ternyata sudah lebih dulu ada di sana. Penampilannya terlihat agak berantakan. Wajahnya dipenuhi air mata yang sepertinya sudah berulang kali diseka. Dan, dengan perasaan yang tidak beraturan, dengan suara yang terdengar lirih, disertai sesenggukan, Ibunya Dinar berkata, "Dinar nggak ada di rumah, Yo!"

Seketika, semuanya berubah menjadi hening. Bahkan, suara rintik hujan di luar pun seperti sulit untuk didengarkan. Dalam kepalaku, kabar itu terus menggema. Disusul dengan berbagai pertanyaan yang silih berganti membenturkan dirinya satu sama lain. Namun, suara rintik hujan yang kian membesar, seolah memberi petunjuk tentang di mana dan sedang apa Dinar saat itu. Syahdan, aku pun berusaha menenangkan diri; merasa sedikit lega.

Setidaknya, aku tahu harus ke mana, pikirku.

Taman Kelinci.

Dari ambang pintu, aku berjalan mendekati Ibunya Dinar. Ada janji yang aku titipkan. Bahwa temannya yang sok-sokan merasa dekat dengan Dinar ini, akan membujuknya supaya mau segera pulang. Rina memutuskan untuk ikut denganku. Entah kenapa juga—bibirku bergerak sendiri—mengiyakannya. Walaupun aku tahu, sebenarnya akan jauh lebih baik kalau ia tetap di sana. Tapi, aku merasa ... mungkin aku akan membutuhkannya. Entah untuk apa.

Untuk sesuatu yang tidak kupikirkan sebelumnya?

Mungkin.

Mengingat jarak dari rumah Dinar ke Taman Kelinci yang tidak terlalu jauh, aku mengajak Rina untuk berjalan kaki saja. Berharap bisa mengobrol banyak dengannya. Mengulik informasi tentang teman dekatnya yang sangat tertutup itu. Aku yakin, di tempatnya berpijak kala itu, Dinar sedang menikmati setiap tetes hujan yang turun. Dan aku yakin, Rina menyadari hal itu. Jadi, untuk apa buru-buru? Di bawah payung yang dipinjamkan oleh Ibunya Dinar, aku membuka obrolan dengan sebuah pertanyaan.

"Dinar nggak cerita apa-apa ke lo?"

Rina terkejut. Seperti tidak menyangka aku akan membuka obrolan.

"Cerita? Cerita apa, Kak?"

I Hate RainDove le storie prendono vita. Scoprilo ora