Chapter 20 - "Strategi"

21K 2.6K 49
                                    

Lampu kelap-kelip, hiasan yang menggantung di pohon cemara dengan kotak kado yang memenuhi bagian bawahnya. Gingerman cookie, hiasan rusa, kaos kaki yang digantung di perapian, secangkir coklat panas, selimut hangat, topi santa claus dan keadaan diluar sana yang dingin, namun tak menurunkan salju, semuanya identik dengan penyambutan natal.

Momo dan Akato telah menunggu masa-masa ini dengan antusias. Surat ditangan mereka yang ditujukan kepada santa claus membuat siapapun tidak ingin mengacaukan harapan mereka dengan mengatakan bahwa sosok kesayangan semua anak-anak itu, tidak pernah ada.

Yang Yume ingat, dia tak pernah seantusias Akato dan Momo saat natal ketika ia kecil dulu. Dia punya kenangan yang kurang mengenakan tepat malam natal beberapa tahun yang lalu. Singkatnya, dia mengira sosok diluar jendela adalah orang yang ditunggunya, dan sosok itu rupanya adalah arwah tak bermata dengan dagu yang dipenuhi rambut hitam bersimbah darah. Dan yang paling mengerikan adalah dia mengucapkan, "ho ho ho, selamat natal!" dan itu cukup berhasil untuk membuat Yume tak pernah menginginkan pertemuannya dengan sosok itu selamanya.

Kini, Yume melirik Momo yang terikat oleh lampu hias yang memanjang, dan Akato nampak berusaha keras membantu Momo terlepas dari jeratan itu. Mereka tak panik, malah menertawakan hal konyol yang terjadi. Itu membuat Yume tersenyum.

Yuki yang melayang-layang melihat tingkah mereka bahkan ikut tersenyum, dan itu cukup membuat Yume tersadar akan keterbatasan waktu yang ada. Mereka tidak boleh berdiam terlalu lama.

"Akihito, ayo bicara sebentar."

Yang terpanggil, mengangguk, dirinya tak lagi melayang-layang tetapi memposisikan dirinya seolah duduk di atas sofa yang Yume yakin hanyalah suatu formalitas belaka, karena kenyataannya lelaki itu tak bisa duduk dalam keadaan itu.

"Dalam waktu seminggu, apa kau yakin kita bisa melakukannya? Kau bahkan tak menceritakan ide-mu sama sekali."

Yuki mengerjap, dirinya terlihat gelisah, namun hanya beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum cerah kembali, "Kita akan melakukannya besok,"

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Yume dengan penuh selidik, "kau tahu kan, kau tak perlu menyembunyikan apa-apa dariku? Aku bisa membantumu dan kau tidak perlu memaksakan diri."

Yuki masih saja tersenyum, "Yah, aku tahu. Kau sudah terlalu sering mengatakannya."

"Berhenti tersenyum! Tidak ada yang lucu," balas Yume jengah.

Senyuman lelaki itu memudar, namun lengkungan lembut masih terlihat disana. "Ayahku pernah bilang, tersenyumlah disaat kau masih bisa tersenyum. Aku boleh melakukan apapun yang kumau selagi aku bisa melakukannya."

Hati Yume terasa tersayat, "jangan bilang begitu..."

"Baiklah, maaf," balasnya dengan penuh penyesalan. "Akan kuceritakan rencana yang kupikirkan padamu."

"Ya, apa?" Yume duduk mendekat.

"...Karena kita tak punya bukti kuat untuk menyudutkannya, bagaimana kalau kita membuat buktinya sendiri?"

Yume mengangkat alisnya tak percaya, "memangnya itu diperbolehkan?"

"Tidak ada pilihan lain, atau mungkin, kau ingin memberikan pendapat dan usulmu?"

"CCTV jalan? Video recorder dalam mobil Paman?"

Yuki melipat kedua tangannya, "aku dengar sendiri dengan kedua telingaku yang masih berfungsi saat itu, pembunuhan berencana itu sudah disiapkan dengan sangat matang olehnya, CCTV di sekitar sana telah dinon-aktifkan dan mobil yang digunakannya untuk menabrakku bukanlah mobil yang sama dengan mobil yang membawamu pulang."

DN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang