Because We are Family

5K 391 11
                                    

Wyns sengaja berlama-lama menatap layar komputernya. Ia tersenyum lalu merasa bodoh. Aneh sekali, padahal seharian ini suasana hatinya sangat buruk. Ia jarang merasa homesick ketika berada jauh dari keluarganya, tapi kali ini, penyakit itu membuatnya sedikit tersiksa. Itu semakin bertambah parah setelah menerima balasan surel dari Raiden.

Saat ini Wyns tinggal sementara di Maryland, bersama sepupunya yang baru menikah. Mereka punya rumah yang luas dengan halaman belakang yang ditanami aneka bunga mawar dari berbagai jenis. Sebenarnya ia merasa nyaman berada disana, hanya saja, banyak hal yang selalu mengingatkannya pada... Savannah. Seolah kota itu terus memanggilnya untuk pulang.

Wyns tersenyum. Ia menggerakkan jemarinya untuk mengetikkan balasan.

Jangan mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Aku sangat baik-baik saja.

Terkirim.

Wyns sedikit gelisah menunggu balasan Raiden. Ia menantikan denting halus dari notifikasi surelnya dengan tidak sabar. Ia mencondongkan tubuhnya seakan layar komputer itu akan luput dari pandangannya.

Semenit. Dua menit. Wyns mulai merasa kesal. Ia sudah akan berbalik untuk pergi dari kamar adik sepupunya itu ketika balasan Raiden masuk.

Ia menggerakkan tangannya pada mouse dengan sangat cepat, membuka surel itu lalu membacanya.

Aku merindukanmu, Wyns.

Wyns tercekat. Ia mengerjap berkali-kali untuk memastikan apa yang baru saja dibacanya.

Raiden merindukannya? Kenapa itu terdengar sangat konyol?

Ia membaca kalimat itu sekali lagi. Tidak berubah. Tulisannya masih sama. Aku merindukanmu, Wyns.

Tangannya berusaha untuk meraih keyboard tapi ia berhenti. Ia mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam, mengisi rongga dadanya yang mendadak terasa sempit.

Ini melelahkan. Hidupnya melelahkan. Apa lagi sekarang? Raiden mencoba memporak-porandakan perasaannya yang memang sudah rapuh sejak lama?

Dua minggu lalu, Wyns merasa hidupnya benar-benar payah. Seolah ada monster yang sengaja menghancurkan hidupnya menjadi kepingan-kepingan kecil. Ia tidak bisa berpikir dengan benar. Ia bahkan memacu mobilnya langsung ke bandara pada hari itu dan memesan tiket untuk penerbangannya ke Brooklyn saat itu juga.

Ia pikir itu adalah ide yang bagus. Tapi kemudian ia menyadari bahwa ia telah merepotkan banyak orang. Terutama Miranda.

Dan sekarang, ia tiba-tiba merasa ingin segera pulang. Ke Savannah.

Wyns menghela nafas dengan berat. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, menekan beberapa digit angka yang sudah dihapalnya di luar kepala --karena ia tidak pernah mau menyimpan nomor itu di dalam ponselnya, lalu menunggu hingga panggilannya tersambung.

******

"Halo?"

"Hai, ini aku."

"Aku tahu itu kau, Wyns. Ada apa kau menelepon?"

******

Wyns menggaruk ujung hidungnya yang gatal. Ia masih menempelkan ponsel itu di telinganya. Belum membuangnya, meskipun ia sedang kesal.

Bagaimana bisa orang ini bersikap biasa-biasa saja, padahal... ia sudah melakukan hal yang semena-mena pada Wyns? Tidak bisa dipercaya!

"Kau benar-benar menyebalkan. Untuk apa aku susah payah menelepon orang sepertimu? Bodohnya aku..." gerutu Wyns.

Ange Déchu | Book 01Where stories live. Discover now