Bab 4 : Teman

9.6K 990 41
                                    

Bab 4 : Teman

Semilir angin yang dingin, begitu menusuk kulit Sabrina hingga sampai ke tulang-tulangnya. Ia sendiri tidak menyangka, jika dirinya akan seberani ini; keluar dari rumah sakit tanpa tujuan yang jelas. Memang, pulang ke rumah ada di pikirannya, hanya ia banyak tapinya.

Tapi....

Kalau ia tidak dibukakan pintu.

Tapi....

Jika ia diusir sekalian.

Tapi....

Apa ia sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tuanya yang pasti meminta detail kelakuannya.

Ia mengeratkan dekapannya sendiri ke kedua lengannya, ia tatap langit hitam yang dipenuhi bintang. Kenapa ia merasa jika bintang-bintang itu sedang menertawai nasibnya?

Sudahlah, cukup bersedihnya. Sabrina mulai berani melangkah, entah ke mana kakinya akan pergi, ia tetap harus berjalan.

Ia setia berjalan menyusuri trotoar yang sudah sepi, paling Sabrina hanya menemukan satu dua orang saja. Ada pengemis, atau orang yang baru pulang kerja selarut ini. Sabrina mengusahakan agar pikirannya tidak kosong, dan ia harus waspada, apalagi di jam-jam rawan begini. Semoga saja, tak ada orang yang berniat jahat. Astaga! Ia baru memikirkan resikonya sekarang!

Dasar cewek panikkan!

"Uang," gumamnya, seraya membuka isi tasnya.

Ia mengembuskan napas lega, kala masih bisa menemukan beberapa lembar uang yang kalau dijumah, masih bisa untuk membayar ongkos taksi. Hari ini, ia sudah keluar banyak uang, dan sakit hati.

Lupakan, lupakan soal Christian, itulah yang terus-menerus menjadi sugesti Sabrina. Cowok jahanam itu, tidak perlu ia pikirkan. Seharusnya, ia pun tidak perlu lagi membuang-buang tenaga untuk mengucapkan namanya.

Di sebuah ruko, Sabrina berhenti. Ia keluarkan ponselnya, masuk ke sebuah aplikasi, dan ia pesan sebuah taksi. Sepuluh menit berikutnya, ada dua kendaraan yang berurutan, pergi dari situ.

++++++

Tentu saja, lagi-lagi Sabrina mengutuki dirinya dan kedua kakinya. Ia sudah ada di depan rumahnya sejak lima menit lalu, tapi keberanian itu sama sekali tidak ada. Ia hanya mematung di seberang rumah, tanpa mau untuk memindah posisinya.

"Mamah marah enggak ya?" Sabrina mengigiti kuku jemarinya sendiri.

Kata orang, marahnya orang tua itu tanda sayang; mereka masih mau mempedulikan. Tapi, kalau dalam posisi Sabrina yang sudah berbuat dosa hingga mengandung anak seorang cowok bajingan, apakah orang tuanya masih mau menyayanginya?

Keraguan itu sama besarnya dengan keberanian yang sedikit demi sedikit ia kumpulkan. "Bilang aja baru pulang dari rumah Tasya!"

Ide bagus! Sabrina memuji kecerdasan idenya ini. Lalu, seseorang yang sedari tadi memperhatikannya dalam diam, masih betah untuk hanya melihat saja.

Gadis itu aman, ia sudah sampai di rumahnya, tapi orang itu masih berpikir dua kali untuk beranjak.

Sabrina membuka pagar rumah, dan dalam satu tarikan napas, ia berpikir positif, bahwa orang tuanya sudah tidur saja; ia harap yanh membuka pintu adalah adiknya.

Kepalan tangannya sudah ada di depan pintu, ia sudah siap untuk mengetuk.

"Pokoknya aku belum mau tidur kalo Sabrina belum pulang ke rumah!" Tapi keduluan dibuka oleh ibunya, yang membuka pintu sambil mengenakan jaket.

"Sabrina?" Mira tampak kaget, namun ia segera memeluk anak perempuannya itu. "Kamu dari mana aja, sayang?!"

Baru sampai adegan begini saja, Sabrina sudah merasa bersalah kembali.

"Da ... dari rumah Tasya, Mah," jawabnya agak tergagap.

Mendengar ada percakapan di ruang tamu, Hendri langsung mendatangi mereka. Giliran Hendri yang memeluk hangat Sabrina.

"Sabrina! Ayah khawatir sama kamu!" Wajah Hendri tak kalah cemasnya dengan sang istri.

"Maaf, hape Sabrina lobet, Yah, Mah," tuturnya, bohong.

Sabrina tersenyum kaku, karena ia sedang mati-matian menahan tangisnya.

Jangan, Sab! Jangan sampai dirimu terlihat lemah di depan kedua orang tuamu, atau mereka akan menanyakan yang macam-macam.

"Terus? Kamu pulang sendiri?" Mira celangak-celinguk, melihat situasi di belakang Sabrina.

Ya, tidak ada siapa-siapa di belakang anaknya. "Masa temenmu enggak mau nganterin sih?"

Wajah cemas seorang ibu - telah kembali lagi. "Udah mamah bilangin, kalo temenan itu pilih-pilih! Jangan gaul sama yang bisanya cuma bawa dampak buruk ke kamu!"

Sabrina tertawa kecil. "Mamah, Sabrina udah gede kali. Tenang aja juga, Sabrina temenannya sama orang baik kok."

Kini, ia sudah masuk ke dalam rumah, dan Hendri menutup pintunya.

Rasa letih itu kembali lagi, makanya Sabrina langsung duduk di sofa paling dekat. Wajahnya seperti habis lari marathon sepanjang lima kilometer, tanpa minum sedikitpun.

"Kamu kenapa? Kok ... pucet banget, sayang?" Mira duduk di samping Sabrina, dan memperhatikan wajah anaknya dengan saksama.

"Enggak apa-apa, kok, Mah." Sabrina masih tersenyum, menjalankan sandiwaranya yang berkata bahwa tidak ada masalah.

Namun, apa yang dikenakannya sudah menjelaskan semuanya.

"Sabrina," kata Hendri yang menyadari sesuatu. "Kenapa kamu pakai baju rumah sakit?"

Sabrina merasa dirinya adalah orang paling tolol sedunia!

"I ... itu tadi, Sabrina-" Perkataannya harus terputus oleh suara ketukan pintu, yang terdengar tenang.

"Siapa bertamu malam-malam gini?" Hendri menerka-nerka.

"Baju pasien?" Mira mencegah Sabrina untuk pergi mengendap-endap ke kamarnya.

"Jelasin sama mamah sekarang juga!" tegas wanita itu, takkan meloloskan anaknya malam ini.

"Biar saya saja yang jelasin, Tante," ujar seseorang yang sudah ada di belakang Mira, dan di tangan orang tersebut, asa sebuah paper bag.

Melihat bagaimana herannya wajah Mira, orang itu mengulurkan tangannya. "Saya Ezra Abinaya, Tante. Saya teman Sabrina yang membuat dia pulang sampai larut begini."

Sementara itu, Sabrina tidak bisa berkata apa-apa, ia menjadi orang yang paling kosong pikirannya di ruangan ini.

Untuk apa Ezra ke mari? Sialan. Apakah ia akan memberberkan semuanya?

Mira membalas uluran tangan Ezra; menyalaminya. "Oh, sejak kapan Sabrina punya teman cowok?"

Ezra hanya tersenyum tipis, ia sendiri tidak melirik Sabrina sedikitpun. "Entahlah, Tante. Mungkin sejak dia bisa jatuh cinta?"

Detik itu juga, Sabrina mendelikkan kedua matanya. Kenapa ia merasa jika Ezra adalah orang yang berbahaya?

~to be continue~

Vote dan Comment😁

Segini dulu.... Hayati letih😣

Ini gak diedit atau dicek setelah nulis, maapkeun jika ada typo bertebaran😁

Close To HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang