Bab 41: The Problematic Child

2K 270 10
                                    

Bab 41: The Problematic Child

Bertahun-tahun dia jaga pipinya; paling hanya orang tua, keluarga atau teman perempuannya yang dia perbolehkan main kecap-kecup. Tapi hari ini, dengan tanpa izin, manusia busung lapar yang selalu memusingkan Tasya ini benar-benar minta digantung di jembatan penyebrangan orang. Tiga kali, iya tiga kali, bibir yang minta dilaknat itu telah menodai pipi Tasya. Ini gila, tapi kenapa, Tasya hanya bisa bersikap seperti orang bodoh yang seperti tidak mempunyai tenaga lagi?

"Eh kok cium-cium?" tanya Duta yang kaget karena Osa bisa sefrontal ini di depan umum.

Osa memeluk Tasya dari belakang karena gadis itu hendak limbung ke kanan saking lemasnya itu dua kaki. "Kenapa? Cewek gue sendiri kok."

Duta tertawa. "Astaga. Ade gue ternyata udah tau pacaran, sayang," kata Duta sambil menyenggol tunangannya yang tampang tidak nyaman.

Tasya yang masih linglung, dia ingin berteriak bahwa ini pelecehan, namun kenapa dia seperti terjerat dalam tali-tali warna merah muda? Sialan.

Mata Eva dan Osa bersitatap, tapi Osa sudah memilih untuk tersasar di 'jalan yang benar', ini sudah kepalang tanggung, dia sudah siap dengan segala resikonya, termasuk jika Tasya memukulnya sampai lebam-lebam.

Osa lebih memilih untuk memperhatikan Tasya dan mengelus pipinya lembut sambil berucap, "Ngapain Kak Dut di sini? Ganggu aja anak muda lagi nge-date."

"Ini kakak juga lagi kencan. Lo kira apa? Kakak abis beliin Eva baju baru, perhiasan, sepatu–"

Osa muak, jadi dia memotongnya seraya mengibaskan tangan tanda dia tidak mau mendengarkannya lagi. "Yayaya, bisa enggak kalian tinggalin kami. Terusin aja acara kencan kalian sendiri. Gue sama Tasya masih banyak tempat yang mau kita kunjungi."

Dahi Duta mengerut. "Nggak mau ikut makan sama kita sekalian? Kita mau makan makanan Jepang, kan lo suka tuh."

Osa menggeleng dengan mimik yang serius. "Tasya alergi wassabi."

Eva yang tahu bahwa Osa sedang mengusir mereka secara halus, dia membaca situasi dengan cepat.

Dia menggoyangkan tangan Duta, dan berkata, "Udahlah. Kita pergi aja dari sini, biarin mereka berdua bahagia."

Eva tersenyum dan Duta dengan senang hati menyambutnya. Mereka berpamitan, tanpa tahu bahwa dada Osa bergemuruh; biarkan mereka berdua bahagia?

Mengapa Osa berpikir bahwa tadi Eva serasa menyindirnya?

Perasaan saja, perasaan saja, Osa....

Setelah yakin bahwa kedua orang itu tidak akan berbalik dan makin menjauh, barulah Osa kembali kepada dirinya—cowok mengesalkan bagi Tasya. Dia sudah kembali di samping Tasya, dan dia dorong cewek itu dengan tanpa perasaan, meski tidak terlalu kencang.

"Udah sana pilih hapenya," kata Osa dingin, dia usap bibirnya, tak mau ada bekas 'pipi Tasya' di sana.

Tasya yang masih gagu, dia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, dan setelah dia didorong, dia tahu bahwa ini bukanlah mimpi buruk, ini memang kenyataan yang benar-benar menyeramkan.

Tasya membenarkan posisi tasnya. "E ... elo ngapain tadi!!!" Dia acungkan telunjuk di depan wajah Osa.

Osa berkacak pinggang. "Mulai sekarang elo itu pacar gue. Dan ya... cuma di depan keluarga gue doang. Terus sekarang sono pilih hapenya–"

Tidak, Tasya tidak sudi membiarkan Osa memang dengan segala kearogannya, dia tidak akan membiarkan Osa pergi cuci tangan atas nama ponsel harga mahal.

Tasya geram, dia bisa meloncat, dan dia raih kepala Osa, lalu sepersekian detik, rambut Osa habis dia tarik-tarik. Mereka berdua heboh di toko ponsel; jika Osa bisa mencium Tasya hingga tiga kali, maka Tasya akan menjambak Osa berkali-kali.

"Lepasin gue kuntilanak gila...!!" jerit Osa yang kesakitan.

Bukannya berhenti, Tasya terus saja menjambaknya tanpa ampun. "Gue cabut rambut lo semua ampe ke akar-akarnya...!"

~°°~

Satu keputusan yang sudah Sabrina pikirkan sejak dia terluka dengan ucapan Ezra, dia tidak mau kalau harga dirinya semakin dipermainkan. Dia tidak tahu lagi ke tempat di mana dia bisa merasa aman, dan tahu bahwa mereka akan menerimanya kembali. Sabrina merasa bersalah, dialah orang yang memperumit kehidupannya sendiri. Dia sudah melakukan kesalahan besar, dan kesalahan itu berujung kepada kesalahan lainnya; saling terkait seperti jaring laba-laba, dan kalau dia tidak segera pergi dari jeratan itu, dia bisa gila.

Suasana hening, Sabrina sedang berhadap-hadapan dengan Mira—ibunya. Dia sudah ada di rumah, sejak sepuluh menit lalu, dan ayahnya sedang pergi bekerja, sementara sang adik tentu saja bersekolah. Sebuah keluarga kecil yang bahagia, kini sedang diuji oleh sebuah masalah.

Meski sambil takut-takut, Sabrina bisa memperhatikan bagaimana keadaan sang ibu sekarang; pipi yang menirus dan kantung mata tebal, tak ada senyum, hanyalah helaan napas berat yang sesekali terdengar.

Mira memang pusing, tapi bagaimanapun, anak perempuannya akhirnya mau kembali, di saat dia sendiri terlalu takut untuk menemui anak itu, karena Sabrina bisa saja makin menghindar dan terus menghilang.

Amarah yang dulu selevel tinggi gunung Everest, kini mulai lebih rendah dari Namsan Tower. Ketika amarah yang menggebu-gebu tidak ada lagi, hanya ada satu hal yang bisa Mira lakukan.

"Sini," katanya, dia membuka pelukan lebar-lebar, menyuruh agar Sabrina tenggelam di dalamnya.

Sabrina tidak tahan lagi, keduanya—meledakkan tangisan, dan semakin menjadi-jadi saat berulang kali Sabrina mengucapkan kata 'maaf', dan berjanji dia akan selalu menuruti perkataan kedua orang tuanya, termasuk cuci piring setelah makan.

~°°~

Close To HeartDonde viven las historias. Descúbrelo ahora