Altair

794 81 2
                                    

Rasa sakit terburuk adalah ketika seseorang berhasil membuatmu merasa begitu istimewa kemarin, namun sekarang dia membuatmu merasa paling tidak diinginkan.

--
Beberapa murid yang sudah masuk ke ruang agama, segera mengambil tempat duduk sesuai keingginannya.

Sastra duduk di sebelah kanan meja, seorang diri. Idealnya, satu meja panjang diisi oleh dua orang.

Tiba-tiba Angka masuk dan langsung duduk di sebelah Sastra. Sastra kaget. Perbuatan Angka yang dengan tiba-tiba dan tanpa izin, membuat gadis itu menatap ke arah Angka tidak percaya.

"Angka? Lo kok duduk disini?" tanya Sastra, dengan bulatan matanya yang begitu nyata.

Sepersekian detik berikutnya, Sastra meneguk ludahnya sendiri. Menyadari adanya kesalahan dalam pemilihan katanya.

Sastra bego! Ngapain sih lo nanya begitu? Harusnya lo seneng dia udah mau duduk di samping lo lagi. Sastra merutuki dirinya dalam hati.

"Nggak ada tempat kosong. Makanya gue duduk di sini." jawabnya datar, tanpa melirik ke arah Sastra sama sekali.

Sastra menatap sendu ke arah Angka. Harus bagaimana lagi Sastra menyikapi situasi yang seperti ini?

"Ka?" lirihnya lemah.

Angka diam. Tak merespon.

Sastra yang tidak mendapatkan jawaban, terpaksa menunduk lemah di tempatnya. Hatinya kelu untuk yang kesekian kali.

"Angka pj kali, abis jadian 'kan sama Sastra?" goda April. April tidak menyadari bahwa sedang ada perang dingin antara Sastra dan Angka.

"Siapa yang jadian?" ketus Angka.

"Oh belom? Yaudah kapan nih ditembaknya, Ka?" tanya April menanggapi pertanyaan Angka.

Angka kembali diam. Tampak sekali rautnya tidak tertarik dengan obrolan di sekitarnya.

Suasana kelas kali ini cukup menegangkan. Sastra harus berusaha sekuat mungkin menahan gejolak di dadanya. Berdekatan dengan Angka memang sangat tidak baik bagi kondisi jantungnya.

Jari-jemarinya mendingin. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah, mengagumi wajah Angka diam-diam. Itupun hanya dari bagian samping.

Yaampun, Ka. Mau sampai kapan sih lo diemin gue? Gue kangen tau ngobrol sama lo lagi. Lirih Sastra kembali.

"Sastra?" sapa seseorang dari arah samping.

Sastra belum menoleh. Ia berpikir, apakah mungkin Angka yang memanggilnya? Tapi suaranya berbeda dengan suara Angka.

Karena ingin tahu, akhirnya sastra menolehkan sedikit kepalanya. Terlihat salah seorang kaka kelas di sebrang sana. 

"Iya kak?" balasnya sopan.

"Oh lo yang namanya Sastra? Anak kelas sepuluh itu?"

"Iya kak."

"Lo boru Simanjuntak ya?"

"Iya kak."

"Lo anak Ips ya?"

"Iya kak."

"Jangan panggil kak, dong."

"Iya kak, terus saya harus panggil apa?"

"Iya-iya mulu. Panggil sayang aja, boleh kok." ujar Senior itu menggoda Sastra.

"Nggak kak." balas Sastra kelewat singkat.

"Kok nggak? Kenapa emang? Gue kurang ganteng?"

Antara Sastra dan Angka  Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora