6. Feels Like Home (Sungjae)

575 69 145
                                    

"Eomma! Appa!"

Sungjae berlari masuk ke rumah, membawa sebuah pesawat kertas di tangan. Ia berlari menuju kamar kerja kedua orangtuanya, senyum lebar tampak di wajahnya. Ransel kuning berbentuk pisang di punggungnya ia hempaskan begitu saja di depan pintu.

"Eomma, lihat apa yang kubuat barusan di sekolah!" Sungjae menarik-narik celana ibunya yang duduk di salah satu meja dalam ruang kerja tersebut. Kacamata tipisnya melorot sampai ke hidung, dahinya mengernyit menghadapi kertas-kertas catatan keuangan yang begitu banyaknya di atas meja.

"Hm?" Hanya itu yang dapat dikeluarkannya sebagai respon, tanpa sedikitpun melirik ke arah Sungjae. Merasa tidak berhasil mendapat perhatian ibunya, Sungjae beralih ke sebuah meja di sudut ruangan, tempat ayahnya duduk.

"Appa! Lihat! Aku membuat pesawat terbang, dan aku mendapat nilai prakarya paling tinggi karena ekor pesawatku sangat bagus. Lihat, appa, dia bisa terbang sangat cepat! Wuuushhh!" Sungjae menerbangkan pesawatnya. Pesawat itu mendarat di dekat pintu.

"Hm, wah, bagus sekali Sungjae-ya. Hebat," ujar ayahnya tanpa bergerak dari posisinya, tetap memandangi layar komputer di hadapannya yang menampilkan banyak sekali angka yang Sungjae tidak pahami.

"Ayo appa, kita bermain bersama! Aku tidak ada pr. Besok kita akan pergi camping kan? Jadi kan?" Sungjae terus mencerocos sambil bergelayutan di kaki ayahnya.

"Ah, besok aku dan ibumu ada pertemuan penting di balai kota. Kau bermain di rumah saja bersama Changsub dan Ilhoon ya."

Sungjae berhenti bergelayut di kaki ayahnya. Bahunya terkulai, dan senyumnya yang lebar hilang tergantikan raut wajah sedih. Ia menatap ayahnya yang sekarang sedang mengetik sesuatu. Sungjae menoleh menatap ibunya yang masih berkutat dengan kertas-kertas.

Perlahan, ia berjalan keluar dari ruang kerja ayah dan ibunya dengan bahu masih terkulai dan langkah terseret. Meninggalkan pesawat kertasnya.

***

Sungjae terbangun dengan mendadak. Ia dapat merasakan jantungnya berdetak sangat cepat, dan napasnya tersengal. Ia melirik jam di atas nakas. Pukul 03.30 dini hari.

"Sial, masih sangat pagi." Sungjae mengumpat. Ia yakin dirinya tidak dapat tidur lagi setelah ini. Sungjae berjalan keluar kamarnya, melintasi ruang tengah dan menuju dapur. Dengan secangkir hot chocolate di tangan, Sungjae berdiri di dekat jendela. Ia berdiri disana untuk waktu yang cukup lama sampai matahari mulai menampakkan cahayanya sedikit demi sedikit.

"Sudah jauh sampai kesini, kenapa aku masih memimpikan hal yang sama?" gumam Sungjae. Langit mulai terang, menyinari sudut-sudut Chicago dan membangunkan penduduknya. Sungjae mendesah panjang, akhirnya beranjak pergi.

*

"Hyung!"

Sungjae berlari-lari melintasi Grant Park, sebuah taman besar di depan School of the Arts Institute of Chicago atau yang biasa dikenal dengan SAIC. Ia menghampiri sesosok laki-laki berbadan atletis yang mengenakan hoodie kebesaran. Laki-laki itu menoleh ketika dipanggil, kepalanya yang botak sempurna terlihat mencolok.

"Ya, Yook Sungjae. Kenapa lama sekali?" Peniel, nama laki-laki itu, merengut ketika melihat Sungjae menghampiri dirinya dengan ngos-ngosan.

Sungjae nyengir. "Mianhae, hyung. Aku tertahan di kelas. Ngomong-ngomong, ayo makan. Aku lapar."

"Tunggu sebentar, aku sedang menunggu seseorang." Peniel meneruskan kegiatannya yang tertahan karena kedatangan Sungjae, mengutak-atik sebuah SLR di tangannya.

Way Back Home ✔Where stories live. Discover now