BAGIAN 4 : Temporary

27.5K 3K 264
                                    

ENAND

Peraturan pertama kalau lo bolos jam pelajaran terakhir dan akhirnya molor di UKS : Jangan lupa pulang!

Gue hampir aja kekunci di ruangan 3x3 berisi obat-obatan ini, kalau Mas Rudi, penjaga sekolah baru, asal ngunci pintu tanpa menengok ke dalam. Entah harus mengumpat atau lega karena akhirnya jam sekolah berakhir, gue buru-buru turun dari tempat tidur.

"Mau nginep juga nggak pa-pa, Nand. Kalo berani," kata Mas Rudi, yang sudah hafal nama gue. Entahlah, karena gue termasuk salah satu murid budiman yang nggak pernah buang sampah sembarangan mungkin? Atau salah satu murid yang paling sering nyogok dia pake rokok, supaya dibolehin nerobos pagar samping sekolah, pas terlambat?

"Setan sih berani. Gue lebih takut kelaperan sampe pagi," balas gue, lalu beranjak keluar.

Tidur siang tadi bikin badan gue segar. Gila, ngantuk banget tadi. Semua gara-gara balapan semalam.

Iya, bukan gue yang balapan. Gue cuma jadi asisten sekaligus tim hore-nya Sakta. Sakta, si bocah sakti itu..., semalam melesat dengan kecepatan luar biasa dan menciptakan rekor baru.

Uang dalam genggaman. Gue berpesta pora. Singkat cerita, gue pulang pagi dan nggak bisa melek di jam-jam siang. Apalagi yang ngajar Pak Wahyu, guru fisika yang tahun depan udah waktunya pensiun. Kepala gue berasa kekal dalam momentum tertunduk saking ngantuknya.

Di sebelah gue, Sakta juga nggak kalah ngantuknya. Tapi dia lebih milih cuci muka dan berjuang ngelawan kantuk daripada cabut ke UKS. Just info aja. Sakta bakal mati-matian bertahan di kelas kalau nggak mau diomeli Ceria, pacarnya yang tiga semester berturut-turut selalu jadi juara umum di sekolah.

Posisi UKS berada terpencil di sudut gedung sekolah. Menuju parkiran, gue melewati lorong kelas sepuluh, terhubung dengan koridor yang didominasi laboratorium.

Gue mengetuk layar ponsel untuk meliat jam. Pukul 16.55. Nggak heran kalau keadaan sekolah udah kayak kuburan.

Bangunan sekolah gue sedikit unik dari sekolah kebanyakan. Alih-alih dibangun melingkari lapangan tengah yang biasanya dijadikan lapangan basket atau upacara, bagian tengah merupakan area nggak terlalu luas berupa taman yang diisi kolam ikan, lengkap dengan gazebo-gazebo tempat siswa-siswi berdiskusi atau mengerjakan tugas.

Sementara bagian bangunan lain memanjang diikuti pepohonan rindang dan dua lapangan di sisinya. Lapangan pertama merupakan lapangan multifungsi yang sering dipakai basket, futsal, maupun upacara. Lapangan itu terhubung dengan lapangan tennis.

Biasanya di hari Kamis sore atau Sabtu dan Minggu pagi, lapangan basket bakal penuh anak-anak baik itu latihan atau bermain asal. Sedangkan lapangan tennis, karena di sekolah sepi peminat, penuhnya cuma pas weekend. Itu pun yang memakai didominasi guru-guru atau orang dewasa yang datang menyewa.

Hari ini adalah hari Selasa, lapangan basket terlihat sepi. Anehnya, di lapangan tennis, gue justru menangkap keberadaan dua orang yang... agak janggal.

Saat gue mendekat, dari balik jaring-jaring yang menjadi dinding sekitar lapangan tennis, yang bertujuan agar bolanya tidak terpental dan hilang ke mana-mana, terlihat seorang guru laki-laki berdiri di belakang seorang siswi yang tengah memegang raket. Siswi perempuan itu kaku seperti papan saat wajah si guru mendekat ke kepalanya. Cuping hidung laki-laki itu bergerak seperti menghirup aroma rambut cewek itu dalam-dalam. Matanya terpejam, sementara tangannya nggak tinggal diam. Tangan itu merambat ke bawah. Menyentuh pinggul si murid perempuan dan manyelinap ke dalam kaos cewek itu.

Melihat raut cewek itu yang seperti ingin menangis.... Setan! Gue memutuskan untuk ke sana.

*****

"Kenapa? Kaget, ya?"

Seorang guru dan seorang siswi. Keduanya sama-sama terkejut. Perbedaannya adalah reaksi setelahnya. Panik untuk Pak Faruz, guru olahraga yang seketika menarik tangannya dari dalam kaos siswi. Sementara lega untuk siswi yang ketika menangkap keberadaan gue, dan mungkin telah memastikan bahwa gue nyata, seolah terbebas dan tahu untuk berbuat apa selanjutnya.

"Sama. Saya juga kaget. Nggak biasanya orang main tennis diem-dieman. Ya 'kan?" Gue menatap Pak Faruz yang tampak memucat.

"Ngapain kamu di sini?"

Gue mengangkat bahu lantas melihat sekeliling. Cewek itu udah mengambil tasnya dan melangkah cepat menuju pintu keluar lapangan yang berbentuk jaring-jaring rapat.

Gue kembali melihat ke arah Pak Faruz.

"Saya? Mau pulang, Pak. Kan ini jam pulang. Saya baru tahu ada pelajaran tambahan di sini. Besok-besok saya mau ikut deh. Kan nilai olahraga saya nggak bagus-bagus amat. Apalagi bagian tangan merayap-rayap." Gue memperagakan apa yang gue katakana dengan kedua tangan gue.

Rahang Pak Farus menegang. "Ya sudah. Cepat kamu pulang sana! Udah sore!"

Mendengar itu, gue nggak bisa menahan tawa. Mata kami bertemu di satu titik untuk beberapa saat. Dan gue bersumpah dia ingin gue lenyap dari bumi hari ini juga. Entah tertabrak truk sepulang dari sini, atau tersambar petir. Karena gue telah mengetahui rahasianya.

****

Keluar dari lapangan tennis, gue berlari menyusul cewek itu. Gila, jalannya cepet banget. Entah apa yang dipikirkanya sampai akhirnya terjatuh di antara saluran air kecil yang ada setelah undakan menuju gerbang. Terlihat sejumlah benda terjatuh dari dalam ranselnya yang tadi belum sempat tertutup.

Gue akhirnya berhasil menyusulnya, membantu memungut beberapa benda miliknya.

Melihat itu, ia langsung menyambar bolpoin yang gue pegang, lalu bergegas memasukkan benda itu ke dalam ranselnya. Jemarinya bergerak cepat meraih resleting, rupanya kali ini dia ingat untuk menutup resleting ranselnya. Namun gerakannya yang buru-buru dan kasar hanya berujung pada macetnya resleting itu.

"Gue bantuin." Gue meraih ransel itu.

"Gue bisa sendiri!" tukasnya seraya mengambil alih ranselnya kembali, memaksanya untuk menutup. Tapi tetap nggak bisa. Ya jelas, kalau caranya begitu ya nggak mungkin ketutup bego Neng...

Gue menghela napas. "Ya udah gue anter."

"Nggak usah," katanya tanpa memandang gue sedikit pun lalu kembali berjalan sambil memeluk ranselnya yang belum tertutup. Bener-bener nih cewek!

"Lo lagi syok. Gue lihat semuanya tadi. Jadi mending gue antar."

Langkahnya berhenti. Kali ini matanya menatap gue. "Gue bilang nggak usah!" Ia membentak. Udah kayak macan yang dipaksa mandi.

"Kenapa lo nggak nolak kayak gini waktu dia ngelecehin lo tadi? Kenapa lo diem aja?"

-----------------------------------to be continued


Itu pak guru mau ngapain 😰😰😰

Enand yok bisa yok nyelametin temennya....

GENANDRA (END)Where stories live. Discover now