BAGIAN 30 : Villain or Victim

10.5K 1.9K 250
                                    

Tertatih, bagaimana kita bertahan dengan jiwa yang ringkih

Terbata, bagaimana kita membahasakan dunia yang sarat lara

Kaku, bagaimana ketetapan-ketetapan alam berlaku

****

ENAND

Saat gue ditarik dan diseret seolah gue maling yang terciduk mencuri motor, Khayana yang sedari tadi menatap lurus ke arah ayah tirinya yang sedang menerima hujaman pukulan dari gue, seketika tersadar dari kotak lamunannya.

"Enand!" teriaknya. Kemudian berlari mendekat. "Mau dibawa ke mana?" Khayana berseru khawatir, lalu berusaha mencegah langkah bapak-bapak sok tahu ini.

Namun, mereka terus berjalan tanpa menggubrisnya. Dan malah berdiskusi apakah gue bakal diarak ke rumah Pak RT, atau menelpon orang tua gue supaya menjemput.

"Kantor polisi aja," sahut si bangsat bokap Khayana, sambil memegangi bibirnya yang berdarah.

Khayana seketika menoleh ke sosok itu. Sorot matanya menyiratkan benci dan ingin membunuh. Ia pun beringsut meraih lengan ibunya. "Ibu, jangan biarin Enand dibawa ke kantor polisi. Dia nggak salah. Tolong bujuk suami Ibu buat nggak ngelibatin polisi." Khayana memohon. Wajahnya panik.

Namun, sia-sia. Ibu Khayana hanya menatap si keparat itu dalam diam, lalu kembali menoleh ke gue dan Khayana. Ia menggeleng. Menyiratkan bahwa ia tidak memiliki kuasa.

Detik itu Khayana menangis.

****

Gue duduk di kursi lipat, persis di hadapan polisi yang kini menginterogasi dari balik meja. Sesekali gue melirik Khayana yang duduk di bangku panjang dekat jendela, menunggu di sana tanpa sekali pun melepas pandangannya dari gue.

Setelah mendengar saran sialan dari ayah tiri Khayana tadi, gue langsung digelandang ke kantor polisi didampingi Pak RT, juga membawa serta Khayana sebagai saksi.

Di samping gue, duduk ayah tirinya dengan wajah babak belur. Sebuah kapas menyumpal hidungnya. Obat merah bercampur darah merembes hingga ke tengah kapas.

Sudah setengah jam berlalu. Dan yang terdengar hanyalah keluhan beserta omelan dari pria hidung belang di samping gue.

Sedangkan gue masih mengunci mulut. Mengabaikan setiap pertanyaan terkait alasan gue memukul korban.

Korban? Siapa sebenarnya korban dan tersangka di sini?

Terbayang bagaimana raut Khayana saat gue memukuli setan keparat ini tadi. Matanya menyorot tajam seolah enggan berkedip. Menyaksikan semuanya dalam diam, seolah menantikan setiap hujaman pukulan setiap detiknya. Seolah gue adalah perpanjangan dari tangannya.

Wujud dari imajinasinya yang selama ini nggak pernah tertuang dalam kenyataan. Karena tentu saja, Khayana hanya anak perempuan dengan kekuatan yang nggak setara dengan makhluk pedofil ini. Khayana nggak bisa melakukan itu semua.

Sebagai sosok yang mengenal Khayana, gue menangkap setitik kesenangan dan rasa puas saat ia mendengar rintihan dan kesakitan dari ayah tirinya, di setiap jejak kepalan tangan gue. Mengamini pukulan yang menghantam rahangnya, mengoyak tulang hidungnya, melebamkan pipinya, dan bahkan membentur pelipisnya hingga satu matanya sulit membuka.

Ada sebutir kekecewaan ketika akhirnya aksi gue berhasil dihentikan. Seolah belum puas. Layaknya menonton serial favorit di televisi, kemudian listrik mati di kala adegan sedang seru-serunya.

Segalanya berubah menjadi kekhawatiran. Begitu pula gue. Oh, meski gue juga puas dan lega habis menghajar sosok itu. Namun melihat Khayana menangis tadi, gue sedikit menyesal. Karena bagaimana pun, gue nggak mau membuatnya sedih.

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang