BAGIAN 15 : Ibu

14.2K 2.4K 139
                                    

ENAND

Setelah muter-muter semalaman dan akhirnya sampai Karawang jam 2 pagi, gue memilih tidur di dalam mobil daripada bermalam di kediaman keluarga Mama yang ada di sini.

Gue terbangun jam enam pagi, saat pemilik toko tempat gue parkir membuka tokonya. Bapak gendut yang masih memakai kaos kutang dan kolor tidur gambar lebah itu kelihatannya sengaja menyuarakan kegiatannya dengan keras dan kelontengan untuk mengusir orang-orang yang parkir liar atau tidur di depan tokonya.

Gue pun pergi dan mencari pom bensin di sekitar sana---untuk tidur lagi, cuci muka, dan makan..., sebelum akhirnya sampai di sini. Salah satu komplek pemakaman elit di Indonesia.

Belum ada yang ke sini. Pusaran Mama masih kosong ketika gue meletakkan karangan bunga di dekat nisannya. Bunga pertama untuknya hari ini. Lily putih. Sewarna dengan baju terakhir yang dikenakan Mama saat mengajak gue, Arsen dan Irene tidur bersamanya untuk terakhir kali.

Dua belas tahun.

Satu-satunya yang berubah saat gue ke sini tiap tahunnya adalah badan gue yang bertambah tinggi. Selebihnya, gue masih sama seperti saat datang ke sini bertahun-tahun lalu.

Air mata gue keluar lagi. Kali ini sebentuk tetesan kecil di sela-sela kelopak mata. Cuma sebagian kecil dari air mata gue waktu nangis sesenggukan dulu, ketika pulang dari pemakaman, dan Mama benar-benar tinggal di sana. Nggak kembali.

Namun, sesak di dada gue justru terasa makin berat tahun-tahun belakangan ini.

Dulu, yang gue tahu adalah Mama pergi. Orang-orang bilang nanti kita bakal ketemu di akhirat. Dan gue langsung percaya gitu aja. Tanpa tahu bahwa proses menuju akhirat juga butuh waktu. Juga kata “nanti” yang ternyata bisa selama ini. 

Hari itu, waktu orang-orang bilang Mama pergi…, that’s all. Gue nggak tahu kalau nggak ada Mama berarti nggak ada yang nyambut gue waktu pulang sekolah. Nggak ada yang belain gue waktu dimarahin Papa. Nggak ada yang ngasih gue pelukan meski pun gue salah. Nggak ada yang senyumin gue waktu gue ngoceh nggak mutu.

Meskipun makin ke sini gue sadar bahwa senyuman Mama adalah jenis senyuman yang bukan hanya nggak sampai ke mata, tapi juga menelan seluruh warna.

Gue mengusap air mata. Dan entah kenapa yang terbayang di kepala gue adalah senyum nyokap Khayana waktu gue temui di rumah sakit. Senyum hangat seorang ibu sebagaimana mestinya.

Gue berbalik. Untuk pertama kalinya setelah pergi dari tempat ini, gue ingin menuju suatu tempat dan mengakhiri kesesakan ini lebih cepat.

****

Dan ternyata, berpikiran untuk menyudahi fase ini lebih cepat sama aja kayak maksa pemeran laga yang masih ngos-ngosan dan belum kelar istirahatnya, buat balik ke panggung. Gue nggak siap. Memerankan peran sebagai remaja nggak punya nyokap tapi tetap tegar, gue nggak siap.

Kedengaran payah memang. Udah dua belas tahun. Harusnya gue yang katanya udah gede ini ngerti. Harusnya gue udah terbiasa.

Tapi gimana caranya terbiasa kalau semakin ke sini gue makin nyesel?

Orang-orang bilang, Mama punya anak-anak hebat karena mereka kuat dan rela meski udah ditinggal dari kecil. Omong kosong! Kami rela karena memang nggak berdaya. Orang mati nggak bisa balik lagi, lantas kami bisa apa?

GENANDRA (END)Where stories live. Discover now