BAGIAN 33 : Not That Easy

10.7K 1.9K 106
                                    

ENAND

Sekitar enam tahun lalu, seorang perempuan muda membuat satpam kualahan karena memaksa ingin bertemu Papa. Alih-alih datang ke kantor, perempuan yang memegang kartu jurnalis sekaligus mengaku sebagai aktivis itu bersikeras untuk menemui Papa di rumah.

Hari itu akhir pekan. Papa sedang ada di rumah. Namun, Papa membiarkan perempuan itu menunggu berjam-jam di bilik pos satpam sampai akhirnya Papa bersedia ditemui dan diwawancara.

Ada sorot mata tajam dan raut tegas. Belakangan gue tahu bahwa kedatangannya waktu itu bukan murni wawancara, tapi lebih untuk protes dan mendebat pendapat dan sikap Papa terkait suatu kasus.

Dua tahun kemudian, perempuan itu diperkenalkan oleh Papa sebagai calon ibu tiri kami. Iya, perempuan itu adalah Kazi. Mengetahui sosok Kazi yang bersahabat dan cocok dengannya dalam perkara perempuan, Irene yang selama ini merupakan cewek sendiri di rumah, langsung merespon dengan suka cita. Arsen? Abang gue yang lempeng itu jelas oke-oke aja selama yang lain menerima. Sementara gue... nggak ambil pusing.

Sekarang, empat tahun berlalu sejak Papa menikahi Kazi. Awalnya kedatangan Kazi hanya mengisi kekosongan di foto dan akta keluarga. Namun, perlahan keberadaannya juga berefek pada rumah. Irene yang paling merasakannya. Dikit-dikit minta pertimbangan Kazi, dikit-dikit minta tolong Kazi, dikit-dikit cerita sama Kazi soal ini dan itu. Dan hal itu membuat gue cukup senang. Meski di sisi gue sendiri, masih ada jarak yang gue bentangkan antara gue dan Kazi.

Mata gue masih lengket.

Dalam alam bawah sadar, gue dibawa berkelana ke pantai. Gue melihat Mama mengenakan rok pantai dengan topi lebarnya. Mama mencelupkan kaki ke ombak. Sementara gue melempari Irene yang waktu itu masih berusia empat tahun, dengan pasir.

Irene berlarian kecil demi menghindari lemparan pasir gue. Gue terus mengejarnya hingga ia terjatuh. Saat itu, Arsen yang sudah tumbuh tinggi di usianya yang mungkin tujuh belas tahun, datang menolong Irene. Dia membuat bola pasir lebih besar, memberikannya ke Irene, lalu menyuruh Irene untuk menimpuk gue sekeras-kerasnya.

Kami berlarian, hingga kami tersadar bahwa Mama udah nggak berada di tempat semula. Kami mengedarkan pandangan... dan menemukan Mama berjalan ke arah laut.

Kami berteriak. Sialnya semakin keras kami berteriak, Mama justru semakin menjauh ke tengah. Irene sudah menangis. Arsen menoleh kanan kiri lalu pergi mencari pertolongan, mungkin memanggil Papa. Sementara gue... mendekat ke arah datangnya ombak. Semakin lama, air laut menutupi separuh tubuh gue.

Gue terus mengejar Mama. Saat gue memanggilnya lagi, Mama menoleh. Bibirnya menarik senyuman. Tangannya melambai, mengisyaratkan gue untuk mengikutinya. Semakin dalam dan semakin dalam. Air laut mencapai leher gue. Gue mulai sesak dan terbatuk-batuk.

"Mam--" ucap gue yang bahkan nggak berhasil menyuarakan panggilan karena air semakin menenggelamkan.

Enand! Enand bangun!

Seketika bayangan itu lenyap dan menggelap. Lalu saat gue membuka mata, langit dan terik matahari berubah menjadi langit-langit ruang yang gue kenali. Kamar gue. Napas gue masih terengah-engah saat terdengar suara.

"Nand, kamu mimpi buruk? Minum dulu gih," ucap suara lembut itu.

Gue menoleh. Di samping gue, Kazi berlutut di samping tempat tidur. Ia menyodorkan segelas air putih dan gue menyambutnya tanpa basa-basi karena tenggorokan gue benar-benar kering seperti habis menenggak air asin.

"Udah mendingan?"

Gue mengangguk, lalu meletakkan gelas ke nakas.

"Sarapan dulu, Nand." Kazi meletakkan nampan berisi sepiring sandwich dan segelas jus berwarna oranye.

GENANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang