Sudah hampir sejam Prilly duduk di kursi yang terletak ditaman, menunggu seseorang yang entah kapan akan datang. Tiba-tiba saja tadi pagi ia mendapatkan telefon dari seseorang yang sama sekali tidak ia kenal, menyuruhnya datang ketaman ini. Meski ragu, takut jika orang itu hanya membohonginya tetapi Prilly tetap datang. Rasa takutnya di kalahkan oleh rasa penasaraannya.
Prilly mendengus kasar, ia merasa di permainkan kali ini. Prilly beranjak dari sana, berniat meninggalkan taman, tetapi suara seseorang yang begitu sangat ia kenal meneriaki namanya.
"Prilly"
Prilly menoleh.
"Bi__an" Prilly berucap seakan tak percaya akan apa yang di lihatnya. Bian kini berdiri di hadapannya dengan seutas senyuman, menampilkan sebuah lesung pipi yang menghiasi wajahnya.
Rasa amarah kini menyeruak dalam diri Prilly, meski ada perasaan sakit saat kembali menatap mata milik Bian. Tetapi Prilly tak menampik jika rasa sakit itu sudah tidak sesakit dulu lagi. Prilly memegangi dadanya, ada apa ini? Kenapa jantungnya tak berdetak seperti dulu lagi? Berbeda saat ia berada didekat Ali, jantungnya terasa akan melompat dari tempatnya saat berhadapan dengan pak bosnya itu.
Bian melangkah, mendekati Prilly yang masih diam mematung ditempatnya.
"Apa aku boleh ngomong sama kamu?" Tanya Bian
Prilly tersadar dan langsung mengalihkan pandangan nya dari Bian. Ia tak ingin berdebat saat ini "Maaf, aku ada janji sama seseorang. Permisi" Prilly berbalik meninggalkan Bian, tetapi ucapan Bian mampu membuat langkahnya kembali terhenti.
"Aku yang tadi pagi nelfon kamu" Bian berjalan berdiri tepat dihadapan Prilly, tetapi Prilly masih tak bergeming, wanita itu masih setia menunduk tanpa berniat sedikitpun menatap mata Bian "Sebentar saja" pinta Bian
Prilly menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan kasar melalui mulut "Okey, sebentar saja" Bian tersenyum lega, setidaknya Prilly mau berbicara dengannya. Meskipun hanya sebentar.
"Kita duduk di bangku taman sana" Bian menunjuk salah satu bangku yang terletak tepat dibawah pohon, cukup nyaman untuk mereka berdua tempati berbicara.
Mereka berdua berjalan kebangku taman, dengan Bian yang berjalan didepan dan Prilly mengikuti dibelakang.
"Mau ngomong apa?"
Bian tersenyum, sepertinya Prilly tak ingin berlama lama dengannya. Bian menyadari hal itu, melihat Prilly tak ingin berbasa-basi dulu dengannya membuat Bian menilai jika Prilly memang begitu sangat marah padanya. Sekedar menanyakan kabar saja Prilly enggan.
"Kabar kamu gimana?"
"Gak usah basa-basi. Langsung ke intinya aja, lebih cepat lebih baik"
Mendengar jawaban ketus Prilly membuat Bian terkekeh pelan.
"Maafkan aku" wajah Bian berubah sendu.
Prilly menolehkan kepalanya kesamping melihat ekspresi Bian yang tiba-tiba berubah. Ada sedikit kerutan di dahi wanita itu saat melihat wajah sendu Bian "Maaf untuk?" Tanyanya bingung
"Semuanya" Bian memberi jeda menarik nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya "Waktu itu aku mutusin hubungan kita karna aku punya alasan. Aku ingin kamu bahagia dengan pria lain"
Gak masuk akal. Batin Prilly
Ingatan Prilly kembali berputar. Masa dimana ia merasakan sakit hati untuk pertama kalinya, masa dimana ia harus berjuang melupakan kenangannya bersama Bian. Butuh waktu lama baginya untuk melupakan semua tentang pria itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, Prilly sadar bahwa perlahan semuanya sudah Prilly kubur, disebuah batu nisan yang bertuliskan 'kenangan'.

YOU ARE READING
MAMA IMPIAN
Teen FictionCiara Brosnan!. Gadis kecil yang sangat terobsesi ingin memiliki seorang Mama dan merasakan kasih sayang seorang Mama. Sedari kecil Ciara hanya di rawat oleh Ayah dan sedikit campur tangan sang Oma. Karna sang Mama sudah lama meninggal saat Ciara ba...