Let Him Go

543 49 7
                                    


"Bae..." panggilanku terdengar menggantung. Aku masih mengamati gelang yang entah sejak kapan melingkar di pergelangan tangan kiri Yoongi. Kemudian memindahkan tatapanku ke arah wajahnya, "Apa-apaan?" tanyaku menuntut.

Di hadapanku, lelaki itu tidak banyak bereaksi, dia mengarahkan pandangan ke arah laci meja sebelah ranjang, menggerakkan dagu ke arah sana.

"Filenya di sana kalau kau ingin membacanya," ujarnya santai.

"Kau gila!" makiku mulai gusar. "Aku tidak setuju! Batalkan! Kau masih sehat! Masih 100% sadar."

"Justru karena aku masih sadar," dia menatapku tajam, namun sorot itu semakin lama semakin melembut. Otomatis mempengaruhi kinerja otakku dan memerintahkan tubuhku untuk lebih tenang. "Karena aku masih dalam kondisi sadar dan sehat untuk mengambil keputusan, itu sebabnya aku melakukannya. Aku sudah berdiskusi dengan dokter dan keluarga, semua sudah jelas. Salinan dokumentasinya ada di laci."

Aku mendengus, "Aku ingin ini direvisi."

"Kau tega melakukannya padaku?"

Serta merta aku mendongak menatapnya. Diberi pertanyaan seperti itu seolah disadarkan bahwa aku adalah orang yang egois.

"Kau tahu aku tidak mungkin mengambil keputusan tanpa memikirkannya baik-baik lebih dulu."

"Kenapa harus DNR?!" aku nyaris berteriak. Atau bahkan aku sudah berteriak tanpa sadar, melihat bagaimana dia sempat terkejut di depanku.

"Karena itu satu-satunya cara," jawab Yoongi segera menguasai diri.

"Bukan."

"Daripada nanti yang ada hanya futile care."

"Tidak ada perawatan yang sia-sia!"

"Ada!"

Kami sama-sama terdiam setelah dia berteriak. Aku yang sebelumnya sempat membuang muka perlahan kembali menatapnya ketika aku mulai merasa gelagatnya aneh. Nafas Yoongi mulai memburu, kepalanya bersandar sepenuhnya pada headboard, matanya sudah terpejam dan dia sempat mengernyit seolah menahan sakit.

Tidak tega.

Jadi kuputuskan mengusap pelan dadanya, tidak membantu banyak kurasa. Kubantu dia berbaring kemudian kembali mengusap dadanya tanpa mengatakan apapun. Aku menimbang dalam hati, tentang perlu tidaknya meminta perawat memasang nasal canula atau melakukan sesuatu jika detak jantung dan nafasnya tidak kunjung teratur dalam waktu lama. Perlu beberapa saat hingga suasana kembali berangsur tenang. Kondisinya mulai membaik, membuatku urung memanggil perawat.

"Kau tidak bodoh, aku tahu kau mengerti prosedur DNR," ujarnya masih dengan mata terpejam.

Aku melengos, menyadari dia masih mengangkat topik yang sama. "Aku tidak mengerti urusan medis, aku tidak paham."

Perlahan Yoongi membuka mata, menatapku, "Ayolah."

Aku tidak menyahut, bahkan terus menghindari tatapannya.

"Kau tahu itu bukan berarti mereka berhenti total memberi penanganan. Obat dan sebagainya tetap berjalan, hanya saja mereka tidak akan melakukan RJP ketika aku berada di batasku."

Iya, aku juga tahu itu.

Aku menghela nafas, memutuskan untuk tidak langsung menyahut. Aku masih perlu mengontrol emosiku, susah untukku berpikir jernih di saat seperti ini. Rasanya aku ingin bertanya, 'Lalu kalau mereka memutuskan tidak melakukan RJP, padahal seandainya pasien masih bisa selamat dengan RJP bagaimana?' namun urung karena aku sendiri sudah tahu jawabannya. Tim medis pasti akan lebih tahu kapan pertolongan mereka berakhir sia-sia dan kapan itu memiliki kemungkinan menyelamatkan pasien.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku pada akhirnya.

"Aku lelah. Rasanya sia-sia, hanya menambah sakitku. Kau sendiri tahu berapa prognosisnya."

Aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dia sudah membuat keputusan dan aku akan benar-benar menjadi orang yang paling egois jika memaksanya menuruti keinginanku. Walaupun aku masih sangat menginginkan dia untuk berjuang dan bertahan.

"Bisa tolong ambilkan kotak putih di laci?"

Tanpa menyahut aku segera melakukan apa yang dia mau. Ada kotak ukuran sedang di sana. Entah sejak kapan ada benda itu, seingatku minggu lalu di kunjungan terakhirku aku tidak melihat kotak ini.

"Itu untukmu, simpan saja dulu. Kuncinya akan kuberikan nanti."

Rasanya aku ingin meneriaki Yoongi, menamparnya agar dia sadar dan tidak melakukan atau mengatakan sesuatu yang seolah menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu dekat.

"Kau belum makan, mau kusuapi?" aku berdiri, meletakkan kotak itu di atas meja lalu melihat makanan Yoongi yang belum tersentuh.

Tapi gerakanku terhenti ketika Yoongi memanggil namaku, membuatku menatap ke arahnya.

"Kumohon...jangan menahanku, biarkan saja. Kau mengerti kan?"

Aku memaksa diriku untuk mengangguk.

Kaku.

Rasanya aku tidak ingin menyanggupinya. Tapi aku tau mau tidak mau, suka tidak suka, itulah yang harus kulakukan. Aku menarik nafas dalam, mencoba membujuk diri sendiri bahwa merelakan dia pergi nantinya akan menjadi hal yang baik dan tidak menyusahkannya.

End

Drabbles : SUGA (Min Yoongi)Where stories live. Discover now