Epilog

3K 153 5
                                    

Percayalah, selalu ada akhir bahagia untuk mereka yang sabar~

***

Hal yang paling menyakitkan adalah menerima kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Tapi jika hatimu ikhlas menerima takdir, InsyaAllah semua akan terasa lebih baik.

Papa memang telah pergi meninggalkanku. Tapi sekarang aku tau, cintanya tak pernah mati untuk kami. Untuk Mama, aku, juga Nila. Papa mencintai kami dengan segenap hatinya.

Dua bucket bunga mawar putih telah berpindah dari tanganku pada dua pusara makam. Almarhum Papa dan Almarhumah Tante Riri.

"Tante, Jingga emang gak sempat kenal Tante. Tapi dari semua yang Jingga dengar, Jingga tau pasti Tante adalah wanita terindah yang Tuhan ciptakan untuk sahabat-sahabat Tante. Terimakasih, Tante. Terimakasih telah menyatukan Mama dan Papa. Terimakasih karena Tante telah menyelamatkan Tante Andin."

Aku mengusap nisan Tante Riri dengan penuh rasa haru. Tante, terimakasih banyak ya!

Aku beralih menatap pusara Papa. Tanpa terasa, air mata yang sedari tadi kutahan tumpah. Di dalam sana, lelaki yang sangat kurindukan kehadirannya telah beristirahat dengan tenang. Di dalam sana, Ayah yang selalu ingin kupeluk telah tertimbun tanah.

Aku menghapus air mata yang jatuh melewati sudut mataku. Aku mengusap nisan Papa dengan segala cinta dan rindu yang kupunya.

"Jingga gak nyangka Pa, ternyata begini ending dari cerita kita. Tapi Jingga lega, karena akhirnya Jingga tau Papa gak pernah tinggalin Mama dan Jingga. Sayang Papa gak pernah luntur untuk Mama. Jingga mau berterimakasih sekaligus minta maaf. Maaf, maaf karena Jingga udah salah paham sama Papa. Papa gak marah kan sama Jingga? Dan Jingga mau berterimakasih. Karena sampai napas terakhir Papa, yang ada di hati Papa cuma Mama. Makasih karena telah mencintai Mama dengan setulus hati. Jingga sayang Papa."

Tiba-tiba kurasakan usapan lembut pada puncak kepalaku. Aku menoleh, mendapati lelaki yang mengisi penuh relung hatiku menatapku hangat.

"Kita pulang yuk, Bunda udah nunggu di rumah. Kangen sama kamu katanya."

Aku menangguk dan kembali menatap gundukan tanah di depanku. "Pa, Jingga pulang dulu ya? Jingga akan sering-sering ngunjungin Papa dan Tante Riri kesini. Semoga kalian bahagia di atas sana."

Aku berdiri dan tersenyum lega. Biru yang berada di sampingku sudah menggenggam tanganku, menyisipkan jemarinya pada sela jemariku. Kemudian sedikit menariknya untuk ke luar pemakaman.

Aku kembali melihat ke arah makam Papa dan Tante Riri sebelum mengikuti langkah Biru. Pa ... Papa akan selalu ada di hati Jingga.

Aku naik ke atas motor Biru dan memeluk pinggangnya erat. Menyandarkan kepalaku pada punggungnya yang hangat.

"Tumben."

Aku sedikit melongokkan kepalaku untuk menatap wajah Biru yang menghadap ke depan.

"Tumben apanya?" tanyaku.

"Tumben mau pegangan. Biasanya susah banget. Harus aku paksa dengan seribu satu cara baru deh pegangan."

Aku tertawa renyah. Rasanya berbeda. Dulu tawaku manipulasi, sekarang aku benar-benar bisa tertawa lepas.

Jingga di Langit BiruWhere stories live. Discover now