2. | S c r u m m y

54.5K 7.2K 442
                                    

Tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan.

Pernyataan itu diperkuat dengan alasan kalau perempuan sangat mudah tersentuh hati dan sering abai pada logika. Belum lagi ditambah dengan pepatah 'Cinta karena terbiasa'. Biasanya, dua insan yang terlibat cinta dalam bungkusan persahabatan akan terlihat seperti kucing dan tikus. Atau, justru memang betul layaknya sepasang kekasih.

Namun, sudah dipastikan yang terluka jelas dia yang jatuh cinta.

Setelah itu, muncullah larang-larangan atau kata haram di dalam sebuah hubungan fana yang disebut 'friendzone' seperti; 1.) adakah yang lebih sakit dari mencintai orang yang selalu menceritakan semua tentang pasangannya padamu? 2.) Jangan coba-coba jatuh cinta pada sahabatmu, karena terkadang kamu lupa membedakan jujur dan dusta. 3.) Kamu punya friendzone? Sini, tenggelamkan saja!

Dan, masih banyak lagi.

Aku cukup prihatin pada mereka yang mengalami derita itu. Percayalah, cinta memang tumbuh karena adanya masukan energi, pupuk dan vitamin lainnya. Kalau kamu termasuk orang yang rentan dalam mencintai, kusarankan jangan bersahabat dengan lelaki.

Namun, beruntungnya, aku tidak menjadi salah satunya. Sejak dulu, aku memang selalu memiliki teman lelaki paling tidak dua. Anehnya, Ayah tidak pernah marah. Justru, dia tidak akan mengizinkanku pergi bersama teman kalau tidak ada minimal satu makhluk bersperma. Katanya, lelaki diciptakan Tuhan memang sebagai pelindung.

Sama seperti lelaki yang sekarang sedang duduk di depanku. Mengendarai Scoopy putih kesayangan dengan kecepatan yang mungkin setara Rossi. Dia Tara. Tara Pradipta. Anak ibu kos yang sudah kukenal dari zaman mahasiswa. Pagi ini, dia sengaja kubangunkan untuk mengantarku---yang bangun agak telat karena dalam masa menstruasi---ke kantor.

Satu yang spesial dari Tara; dia selalu menuruti apapun mauku.

Bahkan, permintaanku agar dia tak memilih kekasih sebelum aku menghilangkan gelar single.

"Bintang tamunya ntar malem siapa, Kay?"

"Apa?! Nggak denger. Nggak usah ngomong. Nanti aja pas sampe parkiran."

Dia nurut. Tetap fokus pada jalanan yang dipenuhi oleh pengendara motor berjaket hijau. Aku tersenyum. Indonesia ini sebetulnya inovatif. Namun, hasil dari inovasi itu sering kali menimbulkan masalah. Pihak digital akan beradu argumen bahkan saling serang fisik dengan pihak konvensional.

Tak mengapa.

Nanti juga lama-lama semua akan indah pada waktunya. Kalaupun nggak indah sekarang, mungkin memang belum waktunya.

"Turun."

Menurut, aku melepas helm dan memosisikannya di bagian depan jok. Disusul jaket yang kemudian kumasukan ke dalam bagasi. Kulihat, Tara melakukan hal sama, tetapi dia tetap menyisakan jaketnya.

Sambil menyisir rambut cepak itu, dia memandangku. "Nanti malem mau dijemput?"

"Enggak usah. Ini bintang tamunya aku nggak kenal. Biasanya, kalau agak nggak waras bakal bikin masalah dan berujung aku pulang telat karena harus dengerin Bang Jovi ngoceh dulu."

Kepalanya ngangguk. Itulah Tara. Tak banyak bicara. Kebanyakan malas. Kadang, aku sudah begitu memperlihatkan euforia ketika bercerita, dia hanya diam. Diam yang memang tidak mendengarkan karena menurutnya banyak hal yang keluar dari mulutku itu nggak penting.

Ouch, dia memang terkadang menyakitkan.

"Ta!"

Sudah beberapa langkah menjauh dariku, Tara berbalik badan. Mengangkat sebelah alisnya. Bertanya hanya lewat ekspresi wajah.

SCRUMMYWhere stories live. Discover now