3 | S c r u m m y

42.1K 6.8K 316
                                    

Laki-laki tercipta jauh lebih kuat daripada perempuan secara fisik.

Sorry, kali ini aku tidak percaya. Khusus di keadaan saat ini. Percaya atau tidak, dengan kecepatan (terkadang lebih) 80 km/jam, pegangan lelaki sombong di belakangku setara gempa 5 skala richter. Badanku seakan remuk redam. Sekeras apapun aku membentak dan memintanya menjauh, semakin erat pelukan tangannya. Sesering apapun tubuhku mengelak, segencar itu dia merapatkan kedua tangannya di pinggangku.

Well, aku menyerah.

Memilih fokus pada jalanan yang sudah hampir menggelap. Lampu-lampu kuning kemerahan mulai nyala di beberapa tiang. Kendaraan beroda dua maupun empat juga ikut memeriahkan jalanan dengan lampu terang.

Ini semua salah dia.

Salah lelaki yang sekarang tak hentinya bergumam di belakang kepalaku.

Kalau saja dia tidak mengajakku ribut, sudah bisa dipastikan saat ini kami berada di backstage.

Napasku berhembus kasar, setelah berhasil parkir sempurna di basement. Menelengkan kepala, aku melihat Al berjongkok sambil melepas helm. Sesekali dia bersin dan mengumpat pelan.

"Gila lo ya. Nyetir kayak iblis."

"Iblis nggak usah ngomongin iblis."

Aku turun, melepas jaket dan memasukkan kembali ke dalam bagasi. Kemudian, tanganku merebut kasar helm darinya dan kugantungkan di spion kanan.

Al sudah berdiri sempurna. Dia mendorong tubuhku menjauh dan mengatur posisi spion kiri. Aku mendengus keras-keras saat tahu apa yang dia lakukan selanjutnya adalah memperhatikan rambutnya yang lumayan kusut. Dengan jemari, ia menyisir sulur-sulur hitam itu.

Tanpa menoleh, dia kembali berbicara, "Berapa menit lagi?"

"Udah mulai."

"Serius lo?!"

Aku mengabaikannya dan memilih berjalan ke lift. Masuk begitu saja tanpa mengonfirmasi apakah dia ada bersamaku atau tidak. Ternyata, dengan tergopoh, dia ikut berdiri di sampingku, melepas jaket kulitnya. Percuma saja mau terburu-buru juga, hari ini, Bang Jovi pasti akan menghajarku. Untung saja, secepat kilat anak-anak mengubah konsep di segmen awal dengan menampilkan cuplikan-cuplikan film Al.

"Sori."

Aku meliriknya dari sudut mata, tanpa menoleh sedikit pun. Di dalam lift hanya ada lima orang, kami berdiri paling depan. Dan, aku memilih mengabaikannya.

"Gue bilang sori, denger enggak?"

"Nggak guna."

"Yaudah. Seengaknya kan gue udah bilang. Sori karena telat bangun. Sori karena nggak bisa ngendarai motor. Sori, karena sekarang ... gue lupa rundown."

Secepat kilat, aku menoleh dan memberinya tatapan nyalang. Dia bercanda? Sudah tidak ada lagi waktu untuk briefing sementara sampai di studio dia harus masuk segmen satu.

"Tapi selow, matanya jangan melotot gitu. Gue punya ingatan fotografis kok. Secepat kilat nanti, gue bakalan inget lagi."

"Kalau bodoh ya bodoh aja. Nggak usah banyak ngeles."

"Nice shot!" Dia tertawa. Kami keluar dari lift, berjalan beriringan. "Tapi, gue juga masih nunggu permintaan maaf lo soal---" Dia berhenti ngoceh karena bersin.. "So---" Aku tidak bisa menahan lagi; terbahak karena dia sampai berjongkok, berkali-kali bersin. Namun, hanya bersin yang menghasilkan bunyi seperti suara bayi kucing. "Sial! Semua ini gara-gara lo."

Padahal yang mengendarai tanpa helm adalah aku.

"Manja banget. Nggak sesuai sama gaya. Naik motor gitu aja langsung demam." Ouch, sebetulnya aku agak kasihan. Lihat mukanya yang sudah merah. Hidungnya lebih parah lagi. Dia menggosok-gosok hidung itu dengan telapak tangan. "Gue punya freshcare, mau?"

SCRUMMYWhere stories live. Discover now