Dua Hati yang Terpisah

984 150 9
                                    

Kadang setelah bertahun-tahun kepergian seseorang dalam hidup, kita justru begitu merindukannya. Ali tahu bahwa merindukan Ika adalah sebuah kebodohan. Mungkin ini hanya eforia sesaat karena tadi Ibu membahas tentang jodoh. Ali kembali merindukan Ika.

Sejak perceraian mereka 5 tahun lalu, Ali tak pernah lagi mendengar suara Ika. Ali merasakan betapa wangi tubuh seseorang bisa begitu menyiksa, berbulan-bulan setelah Ika pergi dari rumah mereka, wangi tubuh Ika masih dapat tercium di bantal, sprei dan selimut mereka. Bulan-bulan yang penuh siksaan itu tak pernah berakhir hingga akhirnya Ali memilih untuk menyingkir dari kamar utama dan menempati kamar tamu. Jika saja dulu Ali berusaha lebih keras untuk mempertahankan Ika.

"Ah sudah lah," gumamnya.

Ali mengalihkan pandangannya, memperhatikan matahari yang mulai turun dari cakrawala. Ungu dan jingga berpadu indah. Keindahan senja yang selalu melarutkan Ika dalam kebahagiaan. Sesuatu yang kini membuat Ali merasa kehilangan dan kesepian.

*

"Sari, ini tolong dimasukan juga ke mobil ya." Ika meletakan kopernya.

"Iya, Mbak," sahut Sari.

Ika menghampir bapak dan ibunya untuk makan malam. Seperti dua malam sebelumnya, sejak Ika menginap di rumah orang tuanya, pembahasan di meja makan masih seputar perjalanan umroh. Ika bahagia melihat binar di mata Ibu ketika membicarakan rencana perjalanan umroh yang akan mereka laksanakan. Bapak seperti biasa, hanya turut mengiyakan apa yang Ibu katakan.

"Jangan lupa nanti di sana kamu minta sama Allah untuk dikirimkan jodoh, Ka," ucap Ibu.

Makanan yang sudah hampir tertelan nyaris saja menyembur keluar dari mulut Ika.

"Ibu." Bapak menegur sambil menggelengkan kepala.

"Nggak apa-apa kok, Pak. InsyaAllah nanti Ika minta sama Allah ya, Bu. Ibu bantu doain aja ya," jawab Ika.

Ika menyelesaikan makan malam sambil mendengarkan Ibu yang masih bercerita dengan bersemangat tentang pengalaman terakhirnya umroh.

"Bapak ke masjid dulu ya, sebentar lagi adzan." Bapak bangkit dari duduknya sambil meraih tongkat. Meskipun sekarang harus berjalan dengan bantuan tongkat tapi bapak tak pernah absen solat lima waktu di masjid. Apa lagi sejak pensiun, selain mengurus ikan-ikan yang menjadi peliharaannya, kegiatan bapak yang paling utama adalah memakmurkan masjid.

"Sekalian Ika antar ya, Pak. Ika mau keluar sebentar ngantar koper ke travel, biar nggak kemalaman."

"Nggak usah Bapak jalan sendiri saja," sahut Bapak sambil menepuk-nepuk bahu Ika.

"Ya sudah kamu jalan aja sekarang antar koper, biar nanti ibu sama Sari yang beres-beres meja makan," ucap Ibu.

"Iya, Ika pergi dulu ya, Bu."

*

       

Sore di Madinah terasa kering. Untungnya udara cukup berangin sehingga tidak terlalu pengap. Ditambah lagi dengan keberadaan payung-payung besar yang menaungi hampir seluruh bagian luar Masjid Nabawi. Ika bersama ibu dan bapak serta para rombongan jamaah umroh lainnya sedang ikut serta dalam kegiatan Thamis Party di pelataran masjid. Thamis party adalah acara makan bersama ala Arab. Makanan dihamparkan diatas plastik panjang, orang duduk secara berhadap-hadapan dan saling berbagi makanan. Menu disediakan adalah roti khas arab dengan kare kambing. Ika melirik ke arah bapak yang sedang asik memakan sajian itu, ia tau bapak pasti menikmati karenya, makanan olahan kambing merupakan makanan kesukaan bapak.

Hari ini adalah hari terakhirnya di Madinah, besok Ika dan rombongan jamaah umroh akan melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk melaksanakan umroh. Acara thamis party ini dijadwalkan sebagai salah satu rangkaian kegiatan penutup di Madinah. Menunggu peralihan hari menuju senja, dan datangnya panggilan adzan untuk salat magrib.

Masjid Nabawi begitu indah. Ika memandangi masjid yang juga merupakan rumah sekaligus makam Rasulullah. Masjid ini didesain dengan sangat baik, terlihat kokoh dengan tembok dan pilar bernuansa coklat, menciptakan rasa nyaman yang luar biasa. Keindahan masjid Nabawi tak bisa digambarkan dengan kata-kata, bahkan foto dan video yang biasa ditemukan di internet juga belum sanggup menjelaskan keindahannya.

"Ika, ayo habiskan makannya, nanti keburu magrib." Ibu menyengol Ika, membuyarkan lamunannya.

Ika kembali mencuil roti, mencelupkan ke dalam kuah kari dan memakannya. Handphone yang Ika letakkan di dalam tas mukena bergetar. Ika meraihnya.

Whatssapp Call from Niken.

Ika menekan tombol hijau, "Hai, Nek."

"Eh, diangkat gue kira ga bakal diangkat." Suara Niken terdengar di seberang telepon.

Ika tertawa, "Tumben ga WA malah nelepon. Ada apaan? Kangen lo sama gue?"

"Hmm.. gimana ya, Nek." Tawa Niken menggema. "Lo sekarang lagi di mana?"

"Masih di Madinah, lagi nunggu Magrib."

"Kapan ke Mekahnya? Titipan gue jangan sampe lupa."

"Sumpah, bawel banget lo, Nek. Tiap hari itu mulu yang dibahas. Gue aja baru di sini tiga hari, lo udah seratus kali ngingetin."

"Soalnya kalo nggak gue ingetin nanti lo banyak alesan."

"Enggak! Pasti gue fotoin tuh kertas jimat lo."

"Ya udah kalau gitu, selamat menikmati ibadah ya. Kali aja lo pulang bawa laki arab." Niken kembali tertawa.

"Asli ya rese banget lo, Nek."

"Bhaaayyy."

Ika hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Sahabatnya itu memang seorang pembujuk ulung. Semua yang diinginkannya selalu harus terlaksana. Tak heran Niken memiliki hampir segalanya yang sempurna di hidupnya. Karier cemerlang, rumah tangga yang indah dan anak-anak yang luar biasa.

Ada kalanya Ika merasa cemburu dengan hidup Niken yang selalu terlihat mulus. Namun Ika tahu semua yang didapatkan Niken bukan tanpa usaha. Niken adalah pekerja keras dalam segala aspek hidupnya, memiliki latar belakang sebagai anak tunggal dan yatim sejak usia dini, Niken selalu ingin membahagiakan sang ibu.

"Ika sudah kan makannya? Ayo wudhu lagi, sebentar lagi adzan," ajak Ibu.

Ika mengangguk.

"Pak, Ibu sama Ika wudhu dulu ya." Ibu berpamitan dengan Bapak.

"Iya, sudah sana. Bapak nanti balik ke hotel setelah isya saja ya, Bu. Biar ga bolak-balik," sahut Bapak.

"Iya, ibu juga setelah isya saja balik ke hotelnya."

"Ya sudah, jangan jauh-jauh dari Ika ya, Bu."

Ika Merapikan barang-barangnya, menyalami Bapak, lalu bergandengan dengan Ibu menuju tempat wudhu khusus wanita. Selama berada di Madinah semua ibadah terasa sangat mudah. Ika bersyukur tak ada halangan yang berarti, bahkan kemarin ia dan Ibu mendapat kesempatan solat di depan makam Rasulullah dengan mudah. Ika memandang ke arah ibunya.

"InsyaAllah Ika bisa nyenengin Ibu dan Bapak terus," ucapnya dalam hati.

Ika mengantri untuk berwudhu setelah Ibu. Dipimpin ustadzah, Ika dan rombongan jamaah perempuan mencari tempat untuk salat sambil menunggu adzan berkumandang. Meski belum pergi meninggalkan Madinah, tetapi rasanya Ika sudah begitu rindu. Tak ingin pergi jauh. Kesejukan yang terasa saat berada di rumah Rasulullah seolah menyelimuti hati.

Pulang pada PelukmuWhere stories live. Discover now