Di Tempat Terbaik

989 152 18
                                    


Mekah sangat indah. Begitu menyejukkan. Tak terasa air mata menggenang di sudut mata Ali. Rasa haru menyeruak. Sekali lagi melihat kakbah secara langsung. Berada di rumah Allah. Mendapat kesempatan untuk kembali menjadi tamu Allah. Ali mengenggam tangan Mama lebih erat, menuntunnya berjalan mengitari ka'bah.

Tujuh putaran tawaf terasa begitu cepat. Ali melihat air mata di wajah mama. Ali mengusap air mata Mama yang kemudian dibalas dengan senyum. Rasa haru yang Mama alami sama seperti yang dirasakannya sejak memasuki Masjidil Haram. Ka'bah seperti memiliki daya tarik yang luar biasa, mereka tak henti-hentinya memandangi bangunan berselubung hitam yang penuh kejayaan itu.

Ali mengikuti rombongan untuk melanjutkan prosesi umroh selanjutnya. Meninggalkan Mama di belakang bersama jamaah perempuan yang sa'i dengan berjalan. Sedangkan ia dan rombongan jamaah pria berlari kecil di depan rombongan. Rombongan pria selesai lebih dulu. Sambil menunggu para jamaah perempuan Ustad Achmad mengajak mereka untuk menunggu di dekat tempat air zam-zam untuk menyegarkan diri. Malam sudah kian larut. Rangkaian ibadah umroh sudah selesai dilaksanakan. Setelah para jamaah perempuan menyelesaikan sa'i maka mereka semua akan kembali ke hotel untuk beristirahat sebentar sebelum adzan subuh.

Sekilas Ali teringat pada Abah. Seandainya saja Abah berada bersama mereka, pikirnya.

Ya, Ali merindukan Abah. Meski berusaha terlihat tegar untuk Mama dan Mia, namun kepergian Abah tentu memberikan pukulan tersendiri baginya. Apa lagi di akhir hidupnya Abah seolah ingin menebus dosa pada apa yang dialami Ali. Ada banyak hal yang terlewatkan. Maaf yang tak terucap. Penyesalan yang dibawa pergi. Meski Ali tak pernah menyalahkan Abah atas perpisahannya dengan Ika.

Ah, Ika, Di manapun dia berada semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuknya, Ali berdoa dalam hati. Sudah terlalu banyak kesedihan yang ia torehkan pada hidup Ika. Ada banyak sakit hati dan sangat banyak air mata diakhir hubungan mereka. Ali tak ingin mengingat lagi masa-masa terberat dalam hidupnya. Namun, entah kenapa justru beberapa hari terakhir bayangan Ika kerap terlintas dipikirannya.

"Alhamdulillah. Itu jamaah perempuan sudah selesai juga." Ustad Achmad berseru sambil memandang rombongan jamaah yang terlihat dikejauhan.

Ali meletakkan gelas minumannya dan berjalan mendekati Mama.

"Kakinya sakit nggak, Ma?" tanya Ali.

"Alhamdulillah enggak sakit," jawab Mama.

Ali menggandeng Mama menyusul jamaah lain di tempat minum air zam-zam. Mengambilkan segelas air untuk Mama dan duduk di dekatnya.

Telinga Ali sayup-sayup mendengar pembicaraan Mama dengan jamaah lainnya, tapi pikirannya melayang. Menikmati indahnya Masjidil Haram lengkap dengan begitu banyak umat yang lalu lalang. Masih banyak yang menjalankan ibadah umroh meski sudah tengah malam. Beberapa datang untuk menjalankan solat malam. Begitu indah, begitu sejuk. Seandainya semua masjid semakmur Masjidil Haram. Seandainya semua muslim mau memakmurkan masjid-masjidnya seperti ketika berada di tanah Haram. MasyaAllah.

"Kok bengong sih?" tanya Mama.

"Enggak bengong. Lagi menikmati pemandangan. Indah banget di sini ya, Ma," sahut Ali.

"Iya, MasyaAllah. Hati juga ya adem rasanya. Makasih ya udah mau temenin Mama."

"Buat Mama, apa aja pasti Ali lakuin."

Mama tersenyum sambil mengelus pundak Ali.

"Alhamdulillah sudah selesai semua rangkaian umroh kita. Semoga Allah menerima ibadah kita dan memberikan rahmatNya kepada kita semua. Sekarang kita kembali ke hotel untuk beristriahat ya, Jamaah semua. Periksa dulu jangan sampai ada barang yang tercecer." Ustad Achmad memberi aba-aba.

Pulang pada PelukmuWhere stories live. Discover now